Selasa, 01 April 2014

“EFEKTIVITAS ORGANISASI “ (TINJAUAN PUSTAKA)



“EFEKTIVITAS ORGANISASI “

(TINJAUAN PUSTAKA)











Disampaikan dalam seminar akademik FISIP-UT
Tanggal 26 Mei 2004


OLEH:
Liestyodono BI

















FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
JAKARTA
2004

 


 

I.              PENDAHULUAN


Apabila dipelajari berbagai pustaka, maka terlihat begitu beragamnya konsep efektivitas yang diajukan para ahli. Menurut Richard S. Steers (1980: 4) ada tiga kerangka acuan yang sering dipakai untuk menjelaskan efektivitas organisasi. Pertama,  faham optimasi tujuan, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria tingkat ketercapaian misi akhir organisasi dengan menganalisis faktor-faktor yang menghambat dan mengoptimasikan faktor-faktor pendukung. Kedua, perspektif sistem, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria berfungsinya semua unsur dalam organisasi yang menjadi syarat bagi pencapai tujuan. Ketiga, tekanan pada perilaku manusia dalam susunan organisasi, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria perilaku manusia secara individual maupun kelompok, apakah menyokong atau menghambat pencapaian tujuan organisasi. Di samping ketiga kerangka acuan, itu, Steers (1980: 4-10) mengajukan kerangka lain, yang disebutnya sebagai suatu model proses untuk mempelajari efektivitas organisasi. Kerangka acuan ini menganggap bahwa efektivitas organisasi merupakan proses dinamis dari keseluruhan karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik SDMnya, serta kebijakan dan praktek manajemen dalam organisasi itu.
Konsep efektivitas yang digunakan dalam Pembahasan ini juga mengacu kepada rumusan yang dikemukakan oleh Amitai Etzioni (1964: 8), yaitu tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Kerangka acuan yang dipakai untuk menganalisis, tidak hanya dari segi optimasi tujuan, perspektif sistem, atau perspektif tingkah laku manusia dalam organisasi, melainkan lebih bersifat komprehensif, dengan menelaah karakteristik organisasi, lingkungan, sumber daya manusia, serta kebijakan dan praktek manajemennya seperti kerangka analisis Steers (1980).

II.            PEMBAHASAN
A.   Konsep Efektivitas Organisasi
Bagi seorang ahli ekonomi atau analisis keuangan, efektivitas organisasi semakna dengan keuntungan atau laba investasi yang diperoleh organisasi. Bagi seorang manajer produksi efektivitas organisasi berhubungan dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang dihasilkan organisasi. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektivitas organisasi tidak lain berhubungan dengan jumlah paten, penemuan atau produk baru dari suatu organisasi. Sedangkan bagi ilmuwan sosial, efektivitas seringkali dikaitkan dengan kualitas kehidupan pekerjanya. Sementara, bagi pakar administrasi pemerintahan (publik), efektiviats organisasi selalu berhubungan dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat..
Dengan beragamnya pemaknaan terhadap konsep efektivitas, maka terdapat pula ancangan yang beragam mengenai berbagai cara meningkatkan efektivitas organisasi. Menurut Steers (1980: 4-10) pada umumnya ada tiga ancangan yang berbeda tapi saling berhubungan erat dalam penafsiran dan pengertian efektivitas, yaitu faham yang menekankan efektivitas, yaitu faham yang menekankan efektivitas sebagai upaya optimasi tujuan, faham yang menekankan perspektif sistemik, dan yang memberi tekanan kepada tingkah laku manusia dalam susunan organisasi.
1.    Efektivitas sebagai fungsi optimasi tujuan
Apabila diteliti beragam ancangan yang digunakan untuk mempelajari efektivitas organisasi, maka sebagian besar ancangan itu bertumpu kepada pencapaian tujuan organisasi. Menurut Etzioni (1964: 9), tingkat keberhasilan pencapaian tujuan sebagai kriteria efektivitas organisasi merupakan ancangan pendekatan rasional yang paling andal untuk menganalisis mutu perilaku organisasi. Kelebihan utama ancangan tujuan dalam menilai efektivitas adalah bahwa sukses organisasi diukur menurut maksud organisasi dan menurut pertimbangan nilai si peneliti, yaitu apa yang “seharusnya” dilakukan oleh organisasi.
Ancangan optimasi tujuan menempatkan sasaran organisasi sebagai faktor utama yang diperhitungkan dalam menilai efektivitas. Charles Perrow (1979: 28) mengidentifikasi beberapa jenis sasaran organisasi. Pertama, sasaran resmi (official goal). Sasaran ini menggambarkan secara resmi kegiatan yang akan dilakukan oleh organisasi, alasan pembentukan organisasi, serta nilai-nilai atau falsafah yang mendasari berdirinya organisasi. Sasaran resmi bukanlah tujuan atau sasaran yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan arah tindakan; juga bukan acuan untuk mengukur performansi organisasi. Kedua, sasaran yang sebenarnya diinginkan (operative goal). Sasaran yang bersifat operatif ini merupakan tujuan aktual organisasi yang sering menggambarkan sasaran jangka pendek yang dapat diamati dan diukur ketercapaiannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Penggunaan ancangan optimasi tujuan memungkinkan dikenalinya secara jelas bermacam-macam tujuan dalam suatu organisasi, hambatan-hambatan, dan usaha-usaha untuk mencapainya. Berdasarkan ancangan optimasi tujuan, maka efektivitas organiasasi dinilai menurut seberapa jauh suatu organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai. Tentu saja ukuran keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang bersifat resmi terletak kepada seberapa jauh pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang bersifat resmi terletak kepada seberapa jauh pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat operasional, aktual, realistis dan layak dicapai.

2.    Efektifitas dari perspektif sistematik.
Aspek kedua dari ancangan yang berdimensi ganda dalam konsep efektivitas adalah digunakannya perspektif sistem. Perspektif sistem memandang organisasi sebagai satu kesatuan dari berbagai unsur yang saling berhubungan secara fungsional untuk mencapai tujuannya. Faham ini mencoba menilai efektivitas organisasi dari segi sejauh mana unsur-unsur dalam organisasi itu dapat berfungsi secara optimal. Dengan menganggap organisasi sebagai satu model sistem terbuka maka paling sedikit terdapat delapan karakteristik organisasi yang efektif (Katz & Kahn, 1966: 78 – 79 ) sebagai berikut:
Pertama, adanya masukan energi dari lingkungan luar, seperti modal, sumberdaya, bahan, dll. Kedua, pengubahan bentuk energi melalui kegiatan kerja (proses produksi) maupun pelayanan (proses jasa). Ketiga, adanya keluaran, yaitu diubah bentuknya energi (masukan) menjadi keluaran untuk lingkungan. Keempat, karakter menurut daur proses transformasi, yaitu aktivitas pengolahan menghasilkan keluaran yang pada gilirannya menjadi sumber baru untuk masukan. Kelima, adanya entropi negatif, yaitu organisasi memasukkan energi lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Berarti sistem menggunakan energi dalam proses transformasi dan menyimpan sebagian energi untuk kebutuhannya kelak. Keenam, adanya mekanisme pengendalian inforamsi. Sistem menerima informasi dari lingkungan, memakai prosedur persandian untuk menyaring informasi tertentu, dan menerima umpan balik dari lingkungan sebagai tanggapan atas kegiatan sistem. Ketujuh, menunjukkan tingkah laku yang mantap, dengan mengembangkan keseimbangan-keseimbangan. Kedelapan, adanya diferensiasi peranan dan spesialisasi fungsi yang berkonsekuensi kepada penataan kegiatan secara struktural.
Bila dicermati perspektif sistematik ini, maka konsep efektivitasnya lebih ditekankan kepada fleksibilitas dan kesiagaan  unsur-unsur internal dari sistem untuk menghadapi lingkungannya serta kemampuannya memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dari luar organisasi untuk pertumbuhan dan perkembangan organisasi untuk pertumbuhan dan perkembangan organisasi tersebut. Dengan demikian, ada dua faktor penting dari sistem yang perlu diperhatikan, struktur organisasi itu secara sistematik, dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Struktur itu mengacu kepada tata susunan organisasi menurut diferensiasi peran dan fungsi setiap bagian/unit organisasi yang dianggap rasional dan efektif untuk mencapai sasaran pada masing-masing bagian dalam rangka pencapaian sasaran organisasional secara keseluruhan. Strategi, tidak lain adalah langkah-langkah kebijakan yang ditempuh organisasi untuk mengantisipasi perubahan, tantangan, dan tuntutan-tuntutan baru yang  terjadi di lingkungan organisasi. Secara teoritis perspektif sistematik ini lebih menekankan kriteria perumusan efektivitas organisasi dan ukuran pencapaian keberhasilan dari segi ketersediaan komponen-komponen yang digolongkan sebagai perangkat keras (hardware) organisasi, yaitu model sistem organisasi, struktur dan hirarkhi organisasi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.


3.    Efektivitas dari perspektif tingkah laku.
Di samping ancangan tujuan dan ancangan sistematik, maka pengertian dan perumusan efektivitas seringkali diberi tekanan dari perspektif tingkah laku, yaitu suatu faham yang menganggap bahwa efektivitas atau keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya terletak kepada peran tingkah laku orang-orang yang berada di dalam sistem organisasi, baik pekerja (karyawan) maupun para pimpinannya.
Beberapa aspek tingkah laku organisasi yang menjadi perhatian utama dalam penentuan kriteria efektivitas, antara lain perbedaan individual dan keragaman kemampuan orang-orang dalam organisasi, kemampuan manajerial dalam mengelola perilaku orang dalam organisasi, dan nilai-nilai yang menjadi acuan individu dalam organisasi sekaligus menuntun keseluruhan perilaku dan tindakannya.
Tingkat kemampuan dan keragaman individual merupakan faktor yang turut menentukan efektivitas suatu organisasi. Banyak organisasi tidak bisa mencapai tujuannya secara optimal karena kemampuan dan keterampilan sumber daya manusianya yang terbatas. Di samping itu terdapat faktor-faktor dari dalam diri individu yang amat mempengaruhi kinerjanya dalam melaksanakan tugas-tugas organisasional. Misalnya, faktor motivasi, semangat kerja, keinginan dan harapan individual, kepuasan, prestasi serta kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri yang memerlukan pemenuhan oleh organisasi. Faktor-faktor individual ini sering dijadikan sebagai ukuran univarisasi untuk menilai dan menentukan derajat efektivitas suatu organisasi.
Di samping itu, kemampuan manajerial dalam mengelola tingkah laku orang-orang dalam organisasi juga dipandang sebagai variabel yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Bagaimanapun unggulnya kemampuan sumber daya manusia dalam suatu organisasi, determinasinya yang positif bagi organisasi tergantung kepada sejauhmana kepemimpinan yang dikembangkan mampu mengelola perilaku hubungan antar manusia secara efektif, sehingga berbagai keinginan dan harapan individual dapat diintegrasikan secara serasi dengan harapan dan tujuan organisasional. Tidak jarang, suatu organisasi kurang efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan secara operasional karena terjadinya konflik yang mendasar antara kebutuhan, tujuan dan pola tingkah laku individu di satu pihak, dengan kebutuhan dan tujuan organisasi seperti yang digariskan dalam manajemen di lain pihak.
Setiap individu dalam organisasi memiliki seperangkat nilai dasar yang menjadi falsafah hidup. Nilai itu pada dasarnya merupakan gagasan abstrak yang diyakini kebenaran dan keberlakuannya dalam hidup seseorang. Dalam konteks organisasi, nilai-nilai dasar itu dapat merupakan tujuan-tujuan yang bersifat superordinate, yang dirumuskan secara positif sebagai tujuan resmi (official goal) dari organisasi. Nilai-nilai dasar itu yang diyakini kebenarannya, merupakan pemandu yang esensial bagi perilaku individu dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasional. Pengabdian, kesetiaan, dan kejujuran dalam pelaksanaan tugas organisasi sebenarnya secara mendasar bersumber kepada pandangan hidup dan nilai-nilai dasar yang dianut seseorang dalam hidupnya. Dengan demikian pemilikan nilai-nilai dasar organisasi merupakan faktor tingkah laku yang turut mempengaruhi berfungsinya organisasi itu secara efektif.

Dari pembahasan mengenai berbagai konsep efektivitas organisasi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi merupakan konstruk yang bersifat multidimensional, yang pengertiannya tergantung kepada pandangan tertentu yang digunakan untuk merumuskannya. Secara agak lebih komprehensif, konsep efektivitas itu mengandung tiga komponen penting yang dalam kenyataannya saling berkaitan satu sama lain. ketiga komponen itu adalah (1) tujuan atau sasaran organisasi, (2) sistem yang merupakan perangkat keras organisasi, dan (3) tingkah laku yang merupakan perangkat lunak organisasi.
Secara visual, hubungan antar ketiga komponen yang membentuk dan mempengaruhi efektivitas organisasi itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

HUBUNGAN ANTAR KOMPONEN EFEKTIVITAS ORGANISASI

Komponen Tujuan



 
Komponen Sistematik                          Komponen Tingkah Laku


B.   Berbagai Model Teori Organisasi dan Pengukuran Efektivitas
Organisasi adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat modern, baik di sektor publik (negara) maupun di sektor swasta. Hampir tidak mungkin untuk menjelaskan fenomena perubahan sosial, politik, dan ekonomi, tanpa menyinggung atau menelaahnya dari segi organisasi. Sebab secara sederhana organisasi tidak lain adalah satu sistem hubungan koperatif di antara orang-orang untuk mencapai tujuannya (Talcott Parsons, 1951: 72).
Meskipun organisasi itu merupakan  konstruk yang bersifat abstrak dan dalam berbagai literatur didefinisikan dengan bermacam cara, namun terdapat kesamaan pengertian dari keseluruhan definisi tersebut sebagaimana dikemukakan Lubis & Huseini (1987:1), yaitu bahwa organisasi adalah suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, memiliki tujuan tertentu dan batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.
Dari segi Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, pakarnya dari Universitas Indonesia, Azhar Kasim (1989: 85) mengemukakan bahwa organisasi merupakan unsur utama dalam administrasi negara karena menyangkut kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan-tujuan publik seperti pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam Ilmu Administarsi, muncul tiga pendekatan utama dalam analisis organisasi (Lubis & Huseini, 1987: 2 – 6), yaitu (1) pendekatan klasik (Fredrick W. Taylor) yang menekankan analisis kepada prosedur dan tata kerja organisasi untuk mencapai tujuan; (2) pendekatan neoklasik (Elton Mayo) yang menekankan analisis kepada hubungan manusia (human ralation) dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan; (3) pendekatan modern (Joan Woodward) yang lebih menekankan analisis yang komprehensif dengan memandang organisasi sebagai satu kesatuan sistem yang bersifat terbuka dan memiliki saling ketergantungan (contingency) antar unsur-unsur dari dalam organisasi dengan lingkungannya; karena itu pendekatan modern ini disebut juga sebagai pendekatan kontingensi.
Pembahasan mengenai organisasi, khususnya organisasi publik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan moderen, dengan asumsi bahwa organisasi publik itu merupakan satu sistem terbuka, dengan unsur-unsurnya yang memiliki saling ketergantungan; dan karena itu, memungkinkan adanya dinamika, adaptasi, perubahan, dan perkembangan dalam organisasi itu sendiri dalam mencapai tujuan bersama.
Dalam pendekatan moderen itu, salah satu konsep inti untuk menjelaskan tujuan organisasi adalah efektivitas. Malahan Goodman dan Pennings (Azhar Kasim, 1989: 8) berpendapat bahwa konstruk efektivitas merupakan unit analisis yang sebagian besar digunakan oleh para peneliti untuk menelaah mengenai seluk beluk organisasi.
Untuk mempelajari secara cermat efektivitas suatu organisasi baik publik ataupun swasta, seorang peneliti paling tidak memiliki suatu model teori organisasi tertentu sebagai acuan. Azhar Kasim (1989: 4 – 85) mengajukan beberapa model teori organisasi sebagai acuan untuk mengukur efektivitas yang akan dibahas berikut ini.

a.    Model Tujuan Rasional
Model ini menganggap bahwa organisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan secara rasional. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan aturan-aturan, prosedur, dan birokrasi dengan memperhatikan keahlian (expertise) setiap orang untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai tata kerja, lingkup wewenang, dan tanggung jawab baik fungsional maupun struktural. Dengan penekanan dimensi rasionalitas dalam pencapaian tujuan, maka model ini menekankan perumusan tujuan, penjabaran kegiatan, dan evaluasi sebagai komponen organisasi yang strategis.
Dalam model rasional itu, tujuan organisasi ditentukan  oleh pemilik organisasi, yaitu orang-orang yang mempunyai hak atau legitimasi terhadap organisasi itu. Dalam sektor bisnis, yang menjadi pemilik organisasi tidak lain adalah pemilik modal atau pemegang saham. Sedangkan dalam sektor publik, misalnya birokrasi (organisasi) pemerintahan yang menjadi pemiliknya adalah publik (masyarakat), yaitu warga negara yang mempunyai hak pilih dan dipilih.
b.    Model Hubungan Manusia
Dalam model hubungan manusia, keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, tidak dilihat pada tata kerja atau birokrasi yang rasional melainkan kepada segi-segi yang melatari hubungan manusia dalam organisasi itu, seperti kebutuhan, dorongan, keinginan, harapan, kepuasan, serta aneka faktor sosial-psikologis yang menjadi kekuatan ataupun kendala bagi terjalinnya hubungan manusia dalam mencapai tujuan organisasi.
Model hubungan manusia ini melahirkan paradigma baru dalam upaya peningkatan mutu pelayanan organisasi, yaitu pengembangan sumber daya manusia (SDM) baik yang bersifat melekat dalam proses pengorganisasian dan manajemen sebagai fungsi pengaturan personil (staffing) maupun penataan dan pengembangan staf yang berbentuk pelatihan (training).
Berbagai pakar organisasi yang menaruh perhatian kepada fungsi pengembangan SDM (Armstrong, 1990: 2) berpendapat bahwa organisasi amat ditentukan oleh sejauh mana intensitas dan seberapa tepat arah pengembangan SDM yang berlangsung dalam organisasi itu. Semakin tinggi intensitas dan semakin tepat arah pengembangan SDMnya, maka semakin tinggi pula kinerja dan produk organisasi. Dalam organisasi publik, arah pengembangan SDM ini berkaitan langsung dengan mutu pelayanan kepada masyarakat sebagai standar keberhasilan organisasi.
c.    Model Sistem Terbuka
Model sistem terbuka menganggap bahwa suatu organisasi, swasta atau publik, tidak bisa bebas dari lingkungan. Bahkan suatu organisasi dikatakan efektif apabila memiliki fleksibilitas, adaptabilitas, dan kesiagaan yang tinggi menghadapi tekstur lingkungan yang terus menerus berubah. Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mengubah kebutuhan, pola dan gaya hidup, selera, harapan, dan aspirasi masyarakat, yang pada gilirannya turut mempengaruhi dan mengubah tuntutan terhadap mutu pelayanan dari suatu organisassi publik.
Salah satu varian teori yang cukup terkenal dari model sistem terbuka ini adalah teori kontingensi. Teori ini mendasarkan gagasannya pada asumsi bahwa semakin kompleks tugas organisasi  maka semakin beragam  (complicated) unit-unit organisasi yang bersangkutan, dan tiap unit organisasi berhubungan dengan segmen lingkungan yang berbeda pula. Akibatnya, organisasi mau tidak mau harus menghadapi masalah pengintegrasian beragam tugas yang dilakukan oleh unit organisasi yang berbeda. kontingensi yang merupakan pengaruh unsur lingkungan terhadap hasil usaha organisasi ini lebih jelas peranannya dalam suatu organisasi publik. Menurut teori kontingensi, efektivitas organisasi tergantung kepada kecocokan struktur organisasi dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dan kondisi lingkungannya.
Sebagai sistem terbuka, suatu organisasi publik dengan sendirinya akan menghadapi problematik dalam hubungan dengan struktur, penataan, dan manajemen kegiatan.
d.    Model Proses Internal
Model proses internal menganggap bahwa dalam suatu organisasi ada dua faktor determinan yang amat menentukan pencapaian tujuan, yaitu informasi dan komunikasi. Oleh karena itu model proses internal menempatkan pengelolaan informasi, komunikasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan serta pengawasan terhadap pelaksanaan tugas merupakan kegiatan sentral dalam organisasi untuk mencapai tujuannya.
Semakin baik pengelolaan informasi, mulai dari pengumpulan data, pengolahan data, pembaharuan data (up-dating), penyimpanan, pengambilan, dan pemanfaatan data, serta pengkomunikasiannya kepada fihak-fihak yang berkaitan  dengan tugas baik internal maupun eksternal, maka semakin efektif organisasi itu mencapai sasaran-saran yang ditentukan, baik pada tingkat formal (kelembagaan) maupun operasional.
Secara umum komunikasi formal dalam suatu organisasi terjadi dalam tiga pola, yaitu (1) komunikasi ke bawah (top down) yang bersifat menyampaikan kebijakan, pengarahan, instruksi, pembinaan, evaluasi, dan sebagainya menurut tingkat hirarkhi; (2) komunikasi ke atas (bottom up) yang bersifat meminta petunjuk atau penjelasan, meminta keputusan, menyampaikan laporan, capaian sasaran, rekomendasi, keinginan, keluhan, atau aspirasi; (3) komunikasi ke samping (lateral), yaitu hubungan dengan sejawat baik yang berhubungan dengan penyelesaian tugas, pengembangan diri, maupun yang berkaitan dengan kebutuhan sebagai karyawan organisasi.
e.    Kaitan Keempat Model Teori secara Integratif dengan The 7’ Frameworks sebagai Model Analisis
Keempat model teori organisasi yang dikemukakan di atas, sebenarnya mempunyai kaitan konseptual dengan asumsi-asumsi yang melatari konsep The 7’s Framework dari Peters & Waterman (1982: 10) untuk menjelaskan keberhasilan, keunggulan dan efektivitas organisasi. Model tujuan rasional dan model sistem terbuka yang menekankan fokus eksternal organisasi, sebagaimana konsep Quinn & Rohrbaugh (Azhar Kasim, 1989: 68) setara dengan konsep perangkat keras organisasi dari Pascale & Arthos (1981: 46), yaitu sistem, strategi, dan struktur. Sedangkan model proses internal dan model hubungan manusia yang menekankan fokus internal organisasi setara dengan aspek-aspek perangkat lunak organisasi, yaitu gaya kepemimpinan, kemampuan dan keterampilan SDM, serta nilai-nilai yang dimiliki.

C.   Pendekatan-pendekatan dalam Penilaian dan Pengukuran Efektivitas Organisasi
Ada beberapa cara yang dikembangkan untuk mengukur efektivitas suatu organisasi. Pertama, pengukuran berdasarkan model kerangka kerja yang digunakan. Menurut Steers (1980: 5), umumnya kerangka kerja yang digunakan untuk meneliti efektivitas terdiri atas dua model, yaitu (1) model pengukuran yang bersifat univariasi (berdimensi satu), yang memusatkan perhatian dalam mengukur efektivitas hanya kepada satu kriteria evaluasi, misalnya produktivitas; (2) model multivariasi, yaitu mengukur efektivitas organisasi berdasarkan sejumlah kriteria penilaian. Masing-masing model mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dalam model univariasi, penelaahannya mendalam, meskipun kurang meluas; sebaliknya dalam model multivariasi, penelaahannya mungkin tidak terlalu mendalam tetapi cakupannya luas karena meliputi beberapa variabel.
Kedua, pengukuran berdasarkan komponen-komponen dalam sistem organisasi. Dengan mengacu kepada sistem organisasi Lubis & Huseini (1987: 56 – 71) mengelompokkan empat pendekatan dalam
pengukuran efektivitas, yaitu (1) pendekatan sasaran yang memusatkan
pengukuran kepada keluaran (produk/jasa) organisasi; (2) pendekatan proses yang memusatkan pengukuran kepada kegiatan dan proses internal organisasi; (3) pendekatan sumber yang memusatkan pengukuran kepada sumber-sumber masukan organisasi; (4) pendekatan gabungan, yaitu pengukuran efektivitas dengan menggabungkan ketiga jenis pendekatan terdahulu secara bersamaan, mencakup pengukuran pada sisi masukan, efisiensi proses transformasi, dan sisi keberhasilan mencapai sasaran.
Ketiga, setiap pendekatan itu masing-masing mempunyai kelemahan dalam pengukuran efektivitas. Oleh karena itu, beberapa pakar mengajukan pendekatan lain yang dianggap lebih komprehensif untuk mengukur efektivitas, diantaranya pendekatan (1) konstituensi, (2) bidang sasaran, (3) kontingensi.

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGUKURAN
EFEKTIVITAS ORGANISASI


 
LINGKUNGAN







INPUT
Sumber/masukan
 

ORGANISASI
Kegiatan dan Proses Internal
 

OUTPUT
Produk/jasa
 

 




Pendekatan               Pendekatan Proses             Pendekatan
Sumber                                                                      Sasaran


 
Sumber: Lubis & Huseini (1987: 56)


1.    Pendekatan Konstituensi
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya kepada konstituensi organisasi, yaitu berbagai kelompok di dalam dan di luar organisasi yang mempunyai kepentingan terhadap kinerja organisasi, seprti karyawan, pemegang saham, leveransir bahan dan peralatan, pemilik, dan lingkungan. Dengan pendekatan ini, efektivitas organisasi diukur melalui tingkat kepuasan masing-masing unsur konstituensi terhadap organisasi. Kelebihan dari pendekatan konstituensi ini adalah kemampuannya untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai efektivitas organisasi melalui pandangannya terhadap keseluruhan faktor baik yang terdapat di dalam maupun di luar organisasi. Pendekatan ini menggunakan beberapa kriteria secara bersamaan, yaitu masukan, proses internal, keluaran. Pendekatan ini berpangkal kepada asumsi bahwa kepuasan unsur yang satu (misalnya, karyawan) sama pentingnya dengan kepuasan unsur lainnya (misalnya, pemilik perusahaan).
Meskipun pendekatan konstituensi pada tahap awal banyak digunakan dalam riset untuk mempelajari efektivitas organisasi bisnis, namun dalam perkembangan terakhir, pendekatan ini semakin banyak digunakan untuk mempelajari efektivitas organisasi publik. Tentu saja kriteria kepuasan setaip unsur konstituensi dalam organisasi publik tidak sama dengan ciri-ciri kepuasan dalam organisasi bisnis. Setidaknya ada lima asumsi normatif yang perlu dijadikan pedoman dalam memahami efektivitas organisasi di sektor publik, sebagaimana dikemukakan Azhar Kasim (1989: 20) sebagai berikut. Pertama, organisasi (lembaga) publik tidak sepenuhnya otonom, tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksterior. Kedua, organisasi publik secara resmi (menurut hukum) diadakan untuk pelayanan masyarakat. Ketiga, organisasi publik tidak dimaksudkan untuk berkembang, menjadi besar dengan merugikan organisasi publik yang lain; kecuali setiap unit pelayanan dituntut semakin efisien dan kompetitif. Keempat, kesehatan organisasi publik diukur melalui (a) kontribusinya terhadap tujuan politik; dan (b) kemampuan mencapai hasil yang maksimum dengan sumber daya tersedia secara lebih efisien. Kelima, kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi pengaruh politik yang negatif (merugikan).
2.    Pendekatan bidang sasaran (goal domains)
Sesungguhnya, suatu organisasi yang besar, apalagi organisaasi publik, pada dasarnya memiliki bidang sasaran yang berlapis dan bertingkat. Kilmann & Herden (1976: 87) mencoba membuat klasifikasi bidang sasaran itu menurut efisiensi dan efektivitas baik fokus internal maupun eksternal. Dengan klasifiaksi itu, Kilmann dan Herden menunjukkan empat bidang sasaran dalam suatu organisasai. Pertama, efisiensi internal, menunjukkan keberhasilan organisasi dalam menggunakan berbagai macam sumber yang dimilikinya. Bidang sasaran ini identik dengan pengukuran efektivitas organisasi melalui pendekatan proses internal. Salah satu ukuran yang digunakan adalah perbandingan nilai keluaran (output) terhadap masukan (input). Efisiensi internal ini memusatkan perhatian kepada bagaimana melakukan transformasi (manajemen) terhadap masukan yang minimum sehingga menghasilkan keluaran yang maksimum. Kedua, efisiensi eksternal, yaitu kemampuan organisasi untuk mendapatkan berbagai jenis sumber yang diperolehkan. Bidang sasaran ini identik dengan pengukuran efektivitas melalui pendekatan sumber. Hubungan (kontingensi) organisasi dengan unsur-unsur lingkungan merupakan kriteria dalam efisiensi eksternal. Ketiga, efektivitas internal, mengacu kepada besarnya perolehan pekerja yang bekerja dalam suatu organisasi, sehingga semakin mengefektifkan tugas-tugas pada masing-masing-masing unit. Bidang sasaran ini lebih dianggap identik dengan pengukuran efektivitas menurut pendekatan proses. Ukuran-ukuran yang digunakan pada umumnya berhubungan dengan kepuasan dan motivasi kerja, iklim, hubungan antarpribadi, dan sebagainya. Keempat, efektivitas eksternal, menunjuk kepada kemampuan organisasi untuk memberikan kepuasan kepada setiap unsur konstituensinya, sehingga bidang sasaran ini lebih identik dengan pengukuran efektiviats melalui pendekatan konstituensi.
3.    Pendekatan kerangka ketergantungan
Pendekatan sasaran dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut dan menjadi preferensi pimpinan organisasi. Selain itu karakteristik organisasi juga berpengaruh terhadap bidang sasaran yang dipilih. Karena itu Huseini & Lubis (1987: 69), mengembangkan pendekatan pengukuran efektivitas organisasi berdasarkan kejelasan proses transformasi dan kejelasan keluaran (output).
Model kontingensi ini menghasilkan empat bentuk pilihan dalam pengukuran efektivitas. Pertama, apabila keluaran organisasi dan proses transformasi cukup jelas dan dapat diukur, maka keberhasilan organisasi untuk mencapai sasarannya akan dapat diukur dengan mudah dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Kriteria efisiensinya adalah ongkos untuk mencapai sasaran. Kedua, jika keluaran tidak jelas atau tidak dapat diukur, tetapi proses transformasi memiliki indikator yang jelas, maka pengukuran dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada kriteria proses internal, antara lain pada unsur iklim organisasi, atau kepuasan karyawan. Ketiga, apabila keluaran jelas, sementara proses transformasi tidak lengkap, maka pengukuran dapat dipusatkan kepada kriteria output, yaitu keberhasilan mencapai sasaran. Keempat, apabila keluaran tidak jelas dan juga proses transformasi tidak lengkap, maka untuk mengukur efektivitas organisasi dapat dipakai kriteria sosial, yaitu pada kepuasan unsur-unsur konstituensi.

D.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektiviats Organisasi Publik
Secara teoritis, efektivitas suatu organisasi publik sangat ditentukan oleh sejumlah faktor determinan. Richard M. Steers (1980: 11) mencoba mengidentifikasi empat himpunan faktor yang berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Pertama, himpunan karakteristik organisasi, yang terdiri atas faktor struktur, yaitu desentralisasi, spesialisasi, formalisasi, rentang kendali, besarnya organisasi dan unit kerja, serta faktor teknologi. Kedua, karakteristik lingkungan, yang terdiri atas faktor ekstern, yaitu kekompleksan, kestabilan, dan ketidaktentuan, serta faktor intern (iklim), yaitu orientasi pada karya, pekerja-sentris, orientasi pada imbalan-hukuman, keamanan melawan resiko, keterbukaan melawan pertahanan. Ketiga, karakteristik pekerja, yang terdiri atas faktor keterikatan pada organisasi, yaitu ketertarikan, kemantapan kerja, dan komitmen pada tugas, serta faktor prestasi kerja, yaitu motivasi, tujuan dan kebutuhan, kemampuan, dan kejelasan peran. Keempat, karakteristik kebijakan dan praktek manajemen, yang terdiri atas faktor-faktor penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan sumberdaya, penciptaan lingkungan berorientasi pada prestasi, pengelolaan informasi dan proses-proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta inovasi dan adaptasi organisasi.
Suatu studi yang amat terkenal mengenai faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi mencapai keunggulannya dikemukakan oleh Peters & Waterman (1982: 8) dalam bukunya In Search of Excellence. Dengan mempelajari kurang lebih 75 perusahaan Amerika Serikat yang berhasil, Peters & Waterman mengemukakan tujuh faktor keberhasilan organisasi (disebut the Seven S’s), yaitu (a) sistem, (b) strutur, (c) strategi, (d) staf (SDM), (e) gaya kepemimpinan (style), (f) keterampilan (skills), (g) nilai-nilai yang dimiliki (shared values).
a.    Faktor Sistem
Sistem merupakan salah satu konsep yang penting untuk menjelaskan mengenai efisiensi dan efektivitas organisasi. Johnson, Kast, & Rosenzweig (1963: 37) mengemukakan bahwa suatu sistem adalah satu keseluruhan yang kompleks, terorganisasikan; suatu himpunan atau kombinasi dari berbagai unsur atau yang membentuk satu keseluruhan yang kompleks atau uniter. Sementara, Kershner (Kast & Rosenzweig, 1974: 88) merumuskan bahwa sistem adalah suatu himpunan berbagai entitas atau hal-hal yang menerima masukan tertentu, dan diselenggarakan sesuai persetujuan bersama untuk menghasilkan keluaran tertentu, dengan tujuan memaksimalkan fungsi masukan dan keluaran.
Dengan demikian, organisasi sebagai satu sistem yang diharapkan dapat berfungsi secara efisien dan efektif harus memiliki komponen dan unsur-unsur masukan dengan standar tertentu yang dapat ditransformasikan untuk mendapatkan keluaran yang optimal, standar, dan bermutu. Dari perspektif sistem, organisasi publik atau bisnis secara teoritis dikelompokkan sebagai sistem terbuka. Menurut von Berthalanffy (Kast & Rosenzweig, 1974: 89) sistem terbuka tidak lain adalah suatu kelompok elemen yang saling berkaitan dan berhubungan dengan lingkungannya. Berdasarkan ancangan ini, sistem dalam organisasi lebih ditekankan kepada persoalan mengenai saling hubungan, struktur, saling ketergantungan antar unsur dan transformasi untuk mencapai keluaran (Katz & Kahn, 1966: 32). Oleh karena itu, sebagai sistem terbuka, suatu organisasi dapat diidentifikasi atas tiga komponen utama, yaitu (1) masukan (yang berasal dari masyarakat), (2) transformasi, dan (3) keluaran (untuk kepentingan masyarakat).
Dalam studinya, Katz and Kahn (1966: 37 – 43) mengidentifikasi sembilan karakteristik penting dari organisasi sebagai sistem terbuka, sebagai berikut:
1.    Pemasukan enerji (masukan) dari lingkungan.
2.    Pengubahan bentuk enerji (transformasi melalui kegiatan kerja dalam organisasi.
3.    Pengeluaran enerji yang sudah diubah bentuknya (keluaran) ke lingkungan luar/masyarakat.
4.    Terjadinya daur proses transformasi, yaitu aktivitas pengolahan.
5.    Entropi negatif, yaitu organisasi memasukkan enerji lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Berarti sistem menggunakan enerji dalam proses transformasi dan menyimpan sebagiannya untuk kebutuhannya kelak.
6.    Mekanisme pengendalian informasi. Sistem menerima informasi dari lingkungan, menyimpan, memperbaharui, serta mengelola dan menggunakan informasi itu sebagai tanggapan sistem terhadap lingkungan.
7.    Tingkah laku yang mantap. Sistem cenderung mempertahankan sifat dasar mereka dengan mengendalikan atau menetralkan ancaman kekuatan yang datang dari luar, dengan keseimbangan dinamis (dynamic equillibrium).
8.    Diferensiasi peranan dan spesialisasi fungsi. Dengan berkembangnya sistem, ada kecenderungan yang semakin meningkat ke arah meluasnya peranan dan spesialisasi fungsi.
9.    Keluwesan dan adaptabilitas terhadap lingkungan. Sistem yang terbuka selalu mempunyai daya keluwesan dan penyesuaian yang melekat untuk menghadapi perubahan dari lingkungannya.

b.    Faktor Struktur
Dalam konteks organisasi, secara sederhana struktur menyatakan cara organisasi mengatur sumber daya manusia bagi kegiatan-kegiatan ke arah tujuan. Struktur merupakan cara yang selaras dalam menempatkan manusia pada suatu hubungan yang relatif tetap, yang sangat menentukan pola-pola interaksi, koordinasi, dan tingkah laku yang berorientasi kepada tugas.
Richard M Steers (1980: 67 –75) mengidentifikasi setidaknya ada enam faktor dari struktur yang dapat dikenali, yang secara empiris ternyata mempengaruhi beberapa segi efektivitas organisasi, yaitu tingkat desentralisasi/sentralisasi, spesialisasi fungsi, formalisasi, rentang kendali, ukuran organisasi dan unit kerja. Berikut ini akan ditinjau sepintas masing-masing faktor struktur tersebut.
1.    Desentralisasi/Sentralisasi
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah batas perluasan berbagai jenis kekuasaan dan wewenang dari atas ke bawah dalam hirarkhi organisasi. Dengan demikian, pengertian desentralisasi berhubungan erat dengan konsep partisipasi dalam pengambilan keputusan. Makin luas desentralisasi sebuah organisasi, makin luaslah lingkup para karyawan bawahan turut serta dalam dan memikul tanggungjawab atas keputusan-keputusan mengenai pekerjaan mereka dan kegiatan mendatang dari organisasinya.
Sentralisasi, sebaliknya, menunjukkan tingkat keterpusatan dalam wewenang dan pengambilan keputusan. Pada organisasi yang mempunyai tingkat sentralisasi yang tinggi, sebaliknya tingkat desentralisasinya rendah, keputusan-keputusan umumnya dibuat hanya pada puncak organisasi. Berbagai penelitian (Jerald Hage, 1967: 503-519) menunjukkan organisasi yang besar tingkat sentralisasinya lebih rendah dari pada organisasi kecil. Steers (1980: 72) melaporkan bahwa bertambahnya desentralisasi dalam organisasi sering menghasilkan perbaikan pada beberapa segi efektivitas. Khususnya, desentralisasi ternyata ada hubungannya dengan meningkatnya efisiensi manajemen, komunikasi dan umpan balik terbuka, kepuasan kerja, dan kebetahan kerja karyawan. Lagi pula, desentralisasi dalam beberapa kasus ternyata menghasilkan perbaikan karya, peningkatan inovasi, dan kreativitas dalam organisasi, yang berakibat kepada peningkatan efektivitas dan produktivitas organisasi.
2.    Spesialisasi fungsi
Konsep spesialisasi fungsi timbul dari gerakan manajemen ilmiah pada awal abad XX yang berpendapat bahwa faktor penentu keberhasilan organisasi adalah kemampuan organisasi untuk membagi-bagi fungsi kerjanya menjadi kegiatan yang lebih spesifik.
Spesialisasi fungsi dalam suatu organisasi akan mengakibatkan peningkatan efektivitas, karena spesialisasi memungkinkan setiap karyawan yang mempunyai keahlian tertentu dapat bekerja secara lebih efisien untuk menangani pekerjaan di bidang yang dikuasainya, sehingga dapat memberi sumbangan terhadap pencapaian sasaran organisasi secara keseluruhan.
3.    Formalisasi
Formalisasi secara konseptual menunjuk kepada tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam suatu organisasi, yang menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi. Formalisasi biasanya menunjukkan batas penentuan atau pengaturan kegiatan kerja karyawan melalui prosedur dan peraturan yang resmi. Semakin besar pengaruh peraturan, pengaturan, kewajiban kerja tertulis yang mengatur tingkah laku karyawan, semakin besar tingkat formalisasinya. Sering dikemukakan argumentasi bahwa peningkatan formalisasi menjadi penghalang terbesar bagi efektivitas, karena para manajer dalam struktur yang sangat formal akan cenderung melakukan segala sesuatu sesuai “juklak” dan “juknis”. Beberapa penelitian melaporkan bahwa formalisasi mempunyai korelasi yang positif dengan efektivitas organisasi, apabila organisasi itu sudah mencapai tingkat kematangan, stabil, dan mapan. Sebaliknya, formalisasi itu berkorelasi negatif bila organisasi itu masih kurang matang dan tidak stabil. Dengan demikian unsur formalisasi memberikan kontribusi yang efektif terhadap organisasi, tergantung kepada kondisi organisasi itu sendiri.
4.    Rentang kendali
Secara konseptual, rentang kendali (span of control) menyatakan jumlah rata-rata bawahan dari setiap divisi, bidang, atau seksi. Semakin besar rentang kendali, kemungkinan semakin rendah efektivitas organisasi. Pengaruh rentang kendali terhadap efektivitas organisasi juga berkaitan dengan faktor teknologi. Meskipun jumlah rata-rata karyawan dalam satu unit tugas banyak, tetapi jika pelaksanaan tugasnya dilakukan secara mekanistik dengan bantuan teknologi tertentu, maka dengan mudah memantau mutu hasil kerja. Di fihak lain, meski jumlah karyawan sedikit, tetapi pekerjaan mereka dilakukan secara manual, maka agak sulit untuk mengontrol mutu kerjanya. Di samping itu faktor keterampilan karyawan juga turut menentukan kendali mutu dalam suatu organisasi. Secara teoretis nisbah yang dianggap layak antara atasan dan bawahan yang memungkinkan rentang kendali mempunyai pengaruh positif terhadap efektifitas berkisar antara 6:1 dan 15:1. Namun besarnya rentang kendali ini juga tergantung kepada peran relatif aspek teknologi organisasi.
5.    Besarnya organisasi dan unit kerja
Bertambah besarnya organisasi dan unit kerja, dalam berbagai kasus penelitian ternyata sangat berpengaruh dan mempunyai hubungan positif dengan efektivitas organisasi. Besarnya organisasi itu terlihat kepada rasio administratif, yaitu perbandingan jumlah anggota kelompok pimpinan terhadap jumlah keseluruhan anggota organisasi.
Sehubungan dengan besarnya organisasi ini, Parkinson (1964: 3) mempopulerkan penemuannya yang dikenal dengan nama “Hukum Parkinson” (Parkinson Law), yaitu kecenderungan memperbesar anggota kelompok pimpinan walaupun sebenarnya pekerjaan yang harus diselesaikan tidak bertambah besar. Di sini Parkinson menunjukkan bahwa organisasi, terutama yang berukuran besar, dengan jumlah pimpinan yang terlalu banyak, yang tidak sesuai dengan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, ternyata umumnya merupakan organisasi yang tidak efisien. Ini berarti bahwa bertambah besarnya organisasi tidak selamanya berkorelasi positif dengan efektivitas organisasi.
Besarnya organisasi juga mencerminkan tingkat kompleksitas penanganan tugas-tugas, hirarkhi, dan rentang kendali. Kompleksibilitas itu dapat berpola vertikal, yaitu banyaknya tingkatan dalam organisasi, dan kompleksitas horisontal, yaitu banyaknya bagian/seksi, bidang-bidang tugas dalam organisasi. Kontribusi besarnya organisasi terhadap efektivitas lebih dicerminkan oleh kemampuan manajemen untuk mengarahkan dan mengendalikan kompleksitas kerja baik horisontal (melalui bidang-bidang), maupun vertikal (melalui tingkatan penanganan/penyelesaian masalah).
c.    Faktor Strategi
Strategi merupakan salah satu “perangkat keras” dalam organisasi yang dalam literatur barat dianggap sebagai kunci keberhasilan organisasi dalam mencapai keunggulannya. Strategi organisasi tidak lain adalah seperangkat rencana organisasi yang telah dipertimbangkan secara cermat, berdasarkan berbagai analisis dan perkiraan, untuk mencapai sasaran/tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Penetapan startegi oleh suatu organisasi tergantung kepada sasaran yang ingin dicapai. Apabila sasaran bersifat jangka panjang, maka strategi itu juga bersifat jangka panjang (Burhan, 1989: 22). Strategi itu pada dasarnya merupakan rumusan kebijakan program organisasi untuk mencapai sasaran secara lebih efektif.
Rencana kegiatan atau program dalam suatu organisasi dianggap strategis apabila rencana itu dapat memperkecil enerji masukan (seperti biaya, SDM, dan peralatan yang dibutuhkan), tetapi sekaligus memperbesar keluaran, serta lebih produktif dalam mencapai sasaran. Bowman (1990: 15) berpendapat bahwa esensi dari manajemen strategik terletak kepada bagaimana suatu organisasi merumuskan langkah-langkah yang efisien dan efektif untuk mewujudkan cita-cita organisasi yang secara programatis dirumuskan dalam tujuan baik yang bersifat resmi (official goals) maupun operatif (operative goals).
d.    Faktor Gaya Kepemimpinan
Sesungguhnya gaya kepemimpinan yang ditampilkan seorang manajer, merupakan satu unsur keberhasilan dalam seni kepemimpinan ala Jepang. Gaya kepemimpinan tidak lain adalah perilaku yang ditampilkan pemimpin dalam berhubungan dengan anggota-anggotanya dalam konteks pelaksanaan tugas/kerja guna mencapai sasaran organisasi.
Robert Blake dan James Mouton (1964: 9) mengemukakan dua orientasi dalam gaya kepemimpinan seorang manajer, yaitu orientasi pada tugas/produksi (task/production orientation), dan orienatsi pada orang (people orientation).
1.    Orentasi pada tugas maupun hubungan orang rendah. Pemimpin cenderung kurang memperhatikan hasil kerja/tugas maupun terhadap anggota.
2.    Orienatsi pada tugas rendah dan orientasi pada orang tinggi. Gaya ini mencerminkan perilaku pemimpin yang hanya memikirkan anak buahnya, tetapi kurang memperhatikan hasil yang dicapai. Gaya seperti ini sering disebut sebagai “Kepemimpinan klub kampung” (The country club management).
3.    Orientasi pada tugas dan pada orang sama-sama sangat tinggi. Gaya ini mencerminkan perilaku pemimpin yang mempunyai tanggungjawab besar terhadap hasil yang ingin dicapai, sekaligus mengusahakan hubungan dengan karyawan secara efektif. gaya ini disebut sebagai kepemimpinan tim yang nyata (The real team management).
4.    Orientasi pada tugas tinggi, sementara perhatian kepada anggota (karyawan) kurang. Gaya ini mencerminkan “kepemimpinan tugas otokratis” (The autocratic task management).
5.    Orienatsi pada tugas cukup, demikian juga orienatsi pada orang (karyawan). Pada gaya ini kepemimpinan cenderung mempertahankan situasi “sedang-sedang (mediocre). Perhatian kepada tugas seadanya demikian juga perhatian kepada karyawan.
Gaya kepemimpinan yang dianggap berhasil dan memberikan sumbangan yang efektif terhadap organisasi adalah kepemimpinan situasional. Model gaya kepemimpinan ini diintrodusir oleh Hersey & Blanchard (1982: 20). Menurut mereka, terdapat tiga dimensi dari kepemimpinan situasional yang efektif, yaitu:
1.     Kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin.
2.     Kadar dukungan sosio-emosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin.
3.     Tingkat kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas.

Gaya kepemimpinan situasional berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif sangat tergantung kepada tingkat kematangan pengikut. Dengan demikian situasi kematangan turut menentukan gaya kepemimpinan bagaimana seharusnya yang cocok untuk dilaksanakan. Berdasarkan tingkatan kematangan pengikut (anggota), dari yang rendah hingga yang tinggi, maka terdapat beberapa tipe gaya kepemimpinan yang sesuai.
e.    Faktor Staf (SDM) dan Keterampilan
Konsep pengembangan sumber daya manusia (SDM) atau yang lazim disebut sebagai human resource management (HRD), sejak dasawarsa 80 – an mulai tampil sebagai kekuatan baru dalam ilmu manajemen modern, baik sektor organisasi publik maupun bisnis. SDM tidak lagi dilihat sebagai enerji yang dapat dikelola dan dikendalikan untuk mentransformasikan modal guna meraih keuntungan (profit) organisasi atau perusahaan, melainkan dalam pandangan modern lebih dipahami sebagai sumber kekuatan yang mampu mentransaktualisasikan dirinya dengan tujuan-tujuan organisasi, sehingga mampu menghasilkan mutu layanan dan produk organisasi yang kompetitif.
Sebagai faktor kunci yang menentukan efektivitas organisasi, James L. Walker (1980: 30) mengemuukakan paling kurang tiga kriteria penting dalam manajemen pengembangan SDM dalam organisasi. Pertama, kualifikasi, yaitu terpenuhinya persyaratan SDM yang diperlukan secara kualitatif untuk menjalankan tugas-tugas organisasional secara struktural maupun fungsional. Kualifikasi itu meliputi jenis dan tingkat pendidikan yang dibutuhkan, pengalaman kerja, kesehatan fisik, dan integritas pribadi. Kedua, proporsi, yaitu terpenuhinya kebutuhan SDM secara kuantitatif untuk menjalankan tugas-tugas organisasional. Proporsi itu berkaitan erat dengan luas dan volume pekerjaan yang harus ditangani dengan atau tanpa dukungan teknologi, serta perkiraan peningkatan bidang usaha dikemudian hari. Ketiga, promosi, yaitu upaya peningkatan kemampuan SDM baik secara struktural maupun fungsional, melalui sistem pendidikan dan pelatihan yang terkait kepada sistem pengembangan karir karyawan. Artinya promosi karyawan dalam tugas-tugas struktural maupun fungsional harus didasarkan kepada pengalaman, pengabdian, tingkat pendidikan maupun jenis-jenis diklat yang diikuti.
Walker (1980: 27) berpendapat bahwa untuk menilai kontribusi faktor SDM terhadap efektivitas organisasi, maka paling sedikit kriteria ukuran harus meliputi ketiga unsur yang dikemukakan di atas, yaitu kualifikasi, proporsi, dan promosi/mutasi peronil dalam tugas-tugas organisasional.
f.     Faktor Pemilikan Nilai
Sistem nilai organisasi yang menjadi acuan perilaku karyawan, dalam penelitian Pascale & Athos (1981), ternyata merupakan faktor penentu dalam keberhasilan manajemen organisasi gaya Jepang. Sistem nilai inilah yang menjadi sumber penggerak dan pembentuk kultur perusahaan (corporate culture) yang kuat sebagai acuan perilaku organisasi.
Sistem nilai itu dapat dikatakan sebagai tujuan-tujuan superordinate (superordinate goals) dari suatu organisasi yang bersifat sangat abstrak. Sistem nilai organisasi itu mengacu kepada apa yang diangap oleh orang-orang dalam organisasi sebagai bermakna dalam hidupnya dan seharusnya menjadi tujuan hidup organisasi, kemudian membentuk keyakinan diri untuk bagaimana dirinya dalam organisasi berperilaku mewujudkan tatanilai itu dalam hidupnya.
Oleh karena itu, menurut Armstrong (1990: 36), untuk mencapai kultur perusahaan/organisasi yang kuat, maka kondisi yang diperlukan ialah adanya pemilikan bersama tata nilai organisasi (shared values), yaitu nilai-nilai yang diyakini bermakna, yang pada gilirannya sistem nilai yang dimiliki menjadi semacam norma perilaku individual dalam organisasi. Pemilikan bersama tata nilai organisasi yang merupakan superordinate goals itu tergantung kepada (1) komitmen karyawan pada nilai dan tata nilai yang lebih tinggi yang mengatur perilaku organisasi, dan (2) orientasi secara seimbang kepada nilai-nilai sosietal, organisasional, dan personal. Efektivitas organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana individu (selaku karyawan) menampilkan perilaku peran yang dituntun oleh norma-norma organisasional, seperti dalam kegiatan proses produksi dan pelayanan.
Sistem nilai yang diikuti suatu organisasi membentuk suatu kultur yang mengikat keseluruhan peran yang ditampilkan oleh organisasi itu. Pascale & Arthos (1981: 98) dalam penelitian intensif mengenai organisasi dan manajemen di Jepang menemukan bahwa keberhasilan bangsa ini mengungguli Eropah dan Amerika dalam industri dan perdagangan, karena mereka memiliki sistem nilai organisasi yang amat kuat dan jarang ditemukan pada bangsa lain. dengan kata lain pemilikan sistem nilai organisasi tertentu sangat mempengaruhi efektivitas organisasi itu dalam meraih keunggulannya.


III.           PENUTUP
Efektivitas Organisasi merupakan konsep yang kompleks dan mengandung pengertian yang bersifat multi dimensional. Secara teoritis, organisasi publik yang tergolong sistem terbuka, efektivitasnya dipengaruhi sekian banyak faktor. Faktor-faktor itu dapat berasal dari dalam organisasi disebut faktor internal, dapat juga berasal dari luar organisasi disebut faktor eksternal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan organisasi yaitu: sistem, struktur, strategi, staf (SDM), gaya kepemimpinan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimiliki. Ketujuh faktor efektivitas organisasi itu saling berhubungan interaktif satu dengan yang lain. hal ini mengisyaratkan bahwa keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung kepada sistem dan tata nilai yang dimiliki, yang membentuk corporate culture dari organisasi itu.


DAFTAR PUSTAKA

1.                                       Armstrong, Michael. 1990. Manajemen Sumber Daya manusia (Alih bahasa Ali Sofjan dan Haryanto). Jakarta: Elex Media Komputindo.
2.                                        Azhar Kasim. 1989. Pengukuran Efektivitas dalam Organisasi. Jakarta: PAU Ilmu-ilmu Sosial UI.
3.                                        Bowman, C. 1990. The Essence of Strategic Management. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
4.                                        Burhan, N. 1989. Perencanaan Strategik. Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo.
5.            Etzioni, Amitai. 1964. Modern Organizations. New Jersey: Prentice Hall.

6.                                        Kast, F.E & Rosenzweig, J.E. 1974. Organization and Management: A System Approach. New York: Mc Graw Hill Book Company.
7.                                        Katz, D & Kahn, R.L. 1966. The Social Psychology of Organization. New York: John Wiley & Sons.
8.                                        Lubis, Hari S.B & Huseini, Martani. 1987. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro). Jakarta: PAU Ilmu-ilmu Sosial UI.
9.                                        Parkinson, C. Northcote. 1984. Parkinson’s Law. New York: Ballantine Books.
10.          Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The Free Press.

11.                                     Pascale, Richard & Arthos, A. 1981. The Art of Japanese management. Boston: Simon & Schuster.
12.                                     Perrow, Charles. 1979. Complex Organizations: A Critical Essay. 2nd ed. Glenview, 1l. : Scott, Foresman & Comp.
13.                                     Peters, Thomas J. Waterman, Robert H. 1982. In Search of Excellence: Lesson from America’s Best Run Companies. New York : Harper & Row, Pub.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar