“EFEKTIVITAS ORGANISASI “
(TINJAUAN PUSTAKA)
Disampaikan
dalam seminar akademik FISIP-UT
Tanggal
26 Mei 2004
OLEH:
Liestyodono
BI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
JAKARTA
2004
I. PENDAHULUAN
Apabila dipelajari berbagai pustaka,
maka terlihat begitu beragamnya konsep efektivitas yang diajukan para ahli.
Menurut Richard S. Steers (1980: 4) ada tiga kerangka acuan yang sering dipakai
untuk menjelaskan efektivitas organisasi. Pertama, faham optimasi tujuan, yaitu penilaian
efektivitas berdasarkan kriteria tingkat ketercapaian misi akhir organisasi
dengan menganalisis faktor-faktor yang menghambat dan mengoptimasikan
faktor-faktor pendukung. Kedua, perspektif sistem, yaitu
penilaian efektivitas berdasarkan kriteria berfungsinya semua unsur dalam
organisasi yang menjadi syarat bagi pencapai tujuan. Ketiga, tekanan pada
perilaku manusia dalam susunan organisasi, yaitu penilaian efektivitas
berdasarkan kriteria perilaku manusia secara individual maupun kelompok, apakah
menyokong atau menghambat pencapaian tujuan organisasi. Di samping ketiga
kerangka acuan, itu, Steers (1980: 4-10) mengajukan kerangka lain, yang
disebutnya sebagai suatu model proses untuk mempelajari efektivitas organisasi.
Kerangka acuan ini menganggap bahwa efektivitas organisasi merupakan proses
dinamis dari keseluruhan karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan,
karakteristik SDMnya, serta kebijakan dan praktek manajemen dalam organisasi
itu.
Konsep efektivitas yang digunakan dalam Pembahasan
ini juga mengacu kepada rumusan yang dikemukakan oleh Amitai Etzioni (1964: 8),
yaitu tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan atau sasarannya.
Kerangka acuan yang dipakai untuk menganalisis, tidak hanya dari segi optimasi
tujuan, perspektif sistem, atau perspektif tingkah laku manusia dalam
organisasi, melainkan lebih bersifat komprehensif, dengan menelaah
karakteristik organisasi, lingkungan, sumber daya manusia, serta kebijakan dan
praktek manajemennya seperti kerangka analisis Steers (1980).
II.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Efektivitas Organisasi
Bagi seorang ahli ekonomi atau
analisis keuangan, efektivitas organisasi semakna dengan keuntungan atau laba
investasi yang diperoleh organisasi. Bagi seorang manajer produksi efektivitas
organisasi berhubungan dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang
dihasilkan organisasi. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektivitas
organisasi tidak lain berhubungan dengan jumlah paten, penemuan atau produk
baru dari suatu organisasi. Sedangkan bagi ilmuwan sosial, efektivitas
seringkali dikaitkan dengan kualitas kehidupan pekerjanya. Sementara, bagi
pakar administrasi pemerintahan (publik), efektiviats organisasi selalu
berhubungan dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat..
Dengan beragamnya pemaknaan
terhadap konsep efektivitas, maka terdapat pula ancangan yang beragam mengenai
berbagai cara meningkatkan efektivitas organisasi. Menurut Steers (1980: 4-10)
pada umumnya ada tiga ancangan yang berbeda tapi saling berhubungan erat dalam
penafsiran dan pengertian efektivitas, yaitu faham yang menekankan efektivitas,
yaitu faham yang menekankan efektivitas sebagai upaya optimasi tujuan, faham
yang menekankan perspektif sistemik, dan yang memberi tekanan kepada tingkah
laku manusia dalam susunan organisasi.
1. Efektivitas sebagai fungsi
optimasi tujuan
Apabila diteliti beragam ancangan yang digunakan untuk
mempelajari efektivitas organisasi, maka sebagian besar ancangan itu bertumpu
kepada pencapaian tujuan organisasi. Menurut Etzioni (1964: 9), tingkat
keberhasilan pencapaian tujuan sebagai kriteria efektivitas organisasi
merupakan ancangan pendekatan rasional yang paling andal untuk menganalisis
mutu perilaku organisasi. Kelebihan utama ancangan tujuan dalam menilai
efektivitas adalah bahwa sukses organisasi diukur menurut maksud organisasi dan
menurut pertimbangan nilai si peneliti, yaitu apa yang “seharusnya” dilakukan
oleh organisasi.
Ancangan optimasi tujuan
menempatkan sasaran organisasi sebagai faktor utama yang diperhitungkan dalam
menilai efektivitas. Charles Perrow (1979: 28) mengidentifikasi beberapa jenis
sasaran organisasi. Pertama, sasaran resmi (official
goal). Sasaran ini menggambarkan secara resmi kegiatan yang akan dilakukan
oleh organisasi, alasan pembentukan organisasi, serta nilai-nilai atau falsafah
yang mendasari berdirinya organisasi. Sasaran resmi bukanlah tujuan atau
sasaran yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan arah tindakan; juga bukan
acuan untuk mengukur performansi organisasi. Kedua, sasaran yang
sebenarnya diinginkan (operative goal). Sasaran yang bersifat operatif ini
merupakan tujuan aktual organisasi yang sering menggambarkan sasaran jangka
pendek yang dapat diamati dan diukur ketercapaiannya baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
Penggunaan ancangan optimasi
tujuan memungkinkan dikenalinya secara jelas bermacam-macam tujuan dalam suatu
organisasi, hambatan-hambatan, dan usaha-usaha untuk mencapainya. Berdasarkan
ancangan optimasi tujuan, maka efektivitas organiasasi dinilai menurut seberapa
jauh suatu organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai. Tentu saja
ukuran keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang bersifat resmi
terletak kepada seberapa jauh pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang bersifat
resmi terletak kepada seberapa jauh pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat
operasional, aktual, realistis dan layak dicapai.
2. Efektifitas dari perspektif
sistematik.
Aspek kedua dari ancangan yang berdimensi ganda dalam
konsep efektivitas adalah digunakannya perspektif sistem. Perspektif sistem
memandang organisasi sebagai satu kesatuan dari berbagai unsur yang saling
berhubungan secara fungsional untuk mencapai tujuannya. Faham ini mencoba
menilai efektivitas organisasi dari segi sejauh mana unsur-unsur dalam
organisasi itu dapat berfungsi secara optimal. Dengan menganggap organisasi
sebagai satu model sistem terbuka maka paling sedikit terdapat delapan
karakteristik organisasi yang efektif (Katz & Kahn, 1966: 78 – 79 ) sebagai
berikut:
Pertama, adanya
masukan energi dari lingkungan luar, seperti modal, sumberdaya, bahan, dll. Kedua, pengubahan bentuk energi melalui kegiatan
kerja (proses produksi) maupun pelayanan (proses jasa). Ketiga, adanya
keluaran, yaitu diubah bentuknya energi (masukan) menjadi keluaran untuk
lingkungan. Keempat, karakter menurut daur proses transformasi, yaitu
aktivitas pengolahan menghasilkan keluaran yang pada gilirannya menjadi sumber
baru untuk masukan. Kelima, adanya entropi negatif, yaitu organisasi
memasukkan energi lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Berarti sistem
menggunakan energi dalam proses transformasi dan menyimpan sebagian energi
untuk kebutuhannya kelak. Keenam, adanya mekanisme pengendalian
inforamsi. Sistem menerima informasi dari lingkungan, memakai prosedur
persandian untuk menyaring informasi tertentu, dan menerima umpan balik dari
lingkungan sebagai tanggapan atas kegiatan sistem. Ketujuh, menunjukkan
tingkah laku yang mantap, dengan mengembangkan keseimbangan-keseimbangan. Kedelapan,
adanya diferensiasi peranan dan spesialisasi fungsi yang berkonsekuensi kepada
penataan kegiatan secara struktural.
Bila
dicermati perspektif sistematik ini, maka konsep efektivitasnya lebih
ditekankan kepada fleksibilitas dan kesiagaan
unsur-unsur internal dari sistem untuk menghadapi lingkungannya serta
kemampuannya memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dari luar organisasi untuk
pertumbuhan dan perkembangan organisasi untuk pertumbuhan dan perkembangan
organisasi tersebut. Dengan demikian, ada dua faktor penting dari sistem yang
perlu diperhatikan, struktur organisasi itu secara sistematik, dan strategi
yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Struktur itu mengacu kepada tata
susunan organisasi menurut diferensiasi peran dan fungsi setiap bagian/unit
organisasi yang dianggap rasional dan efektif untuk mencapai sasaran pada masing-masing
bagian dalam rangka pencapaian sasaran organisasional secara keseluruhan.
Strategi, tidak lain adalah langkah-langkah kebijakan yang ditempuh organisasi
untuk mengantisipasi perubahan, tantangan, dan tuntutan-tuntutan baru yang terjadi di lingkungan organisasi. Secara
teoritis perspektif sistematik ini lebih menekankan kriteria perumusan
efektivitas organisasi dan ukuran pencapaian keberhasilan dari segi
ketersediaan komponen-komponen yang digolongkan sebagai perangkat keras
(hardware) organisasi, yaitu model sistem organisasi, struktur dan hirarkhi
organisasi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan.
3. Efektivitas dari perspektif
tingkah laku.
Di samping ancangan tujuan dan
ancangan sistematik, maka pengertian dan perumusan efektivitas seringkali
diberi tekanan dari perspektif tingkah laku, yaitu suatu faham yang menganggap
bahwa efektivitas atau keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya
terletak kepada peran tingkah laku orang-orang yang berada di dalam sistem
organisasi, baik pekerja (karyawan) maupun para pimpinannya.
Beberapa aspek tingkah laku
organisasi yang menjadi perhatian utama dalam penentuan kriteria efektivitas,
antara lain perbedaan individual dan keragaman kemampuan orang-orang dalam
organisasi, kemampuan manajerial dalam mengelola perilaku orang dalam
organisasi, dan nilai-nilai yang menjadi acuan individu dalam organisasi
sekaligus menuntun keseluruhan perilaku dan tindakannya.
Tingkat kemampuan dan keragaman
individual merupakan faktor yang turut menentukan efektivitas suatu organisasi.
Banyak organisasi tidak bisa mencapai tujuannya secara optimal karena kemampuan
dan keterampilan sumber daya manusianya yang terbatas. Di samping itu terdapat
faktor-faktor dari dalam diri individu yang amat mempengaruhi kinerjanya dalam
melaksanakan tugas-tugas organisasional. Misalnya, faktor motivasi, semangat
kerja, keinginan dan harapan individual, kepuasan, prestasi serta kebutuhan
penghargaan dan aktualisasi diri yang memerlukan pemenuhan oleh organisasi.
Faktor-faktor individual ini sering dijadikan sebagai ukuran univarisasi untuk
menilai dan menentukan derajat efektivitas suatu organisasi.
Di samping itu, kemampuan
manajerial dalam mengelola tingkah laku orang-orang dalam organisasi juga
dipandang sebagai variabel yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi.
Bagaimanapun unggulnya kemampuan sumber daya manusia dalam suatu organisasi,
determinasinya yang positif bagi organisasi tergantung kepada sejauhmana
kepemimpinan yang dikembangkan mampu mengelola perilaku hubungan antar manusia
secara efektif, sehingga berbagai keinginan dan harapan individual dapat
diintegrasikan secara serasi dengan harapan dan tujuan organisasional. Tidak
jarang, suatu organisasi kurang efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
telah dirumuskan secara operasional karena terjadinya konflik yang mendasar
antara kebutuhan, tujuan dan pola tingkah laku individu di satu pihak, dengan
kebutuhan dan tujuan organisasi seperti yang digariskan dalam manajemen di lain
pihak.
Setiap individu dalam organisasi
memiliki seperangkat nilai dasar yang menjadi falsafah hidup. Nilai itu pada
dasarnya merupakan gagasan abstrak yang diyakini kebenaran dan keberlakuannya
dalam hidup seseorang. Dalam konteks organisasi, nilai-nilai dasar itu dapat
merupakan tujuan-tujuan yang bersifat superordinate,
yang dirumuskan secara positif sebagai tujuan resmi (official goal) dari organisasi. Nilai-nilai dasar itu yang
diyakini kebenarannya, merupakan pemandu yang esensial bagi perilaku individu
dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasional. Pengabdian, kesetiaan, dan
kejujuran dalam pelaksanaan tugas organisasi sebenarnya secara mendasar
bersumber kepada pandangan hidup dan nilai-nilai dasar yang dianut seseorang
dalam hidupnya. Dengan demikian pemilikan nilai-nilai dasar organisasi
merupakan faktor tingkah laku yang turut mempengaruhi berfungsinya organisasi
itu secara efektif.
Dari pembahasan mengenai berbagai
konsep efektivitas organisasi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas organisasi merupakan konstruk yang bersifat multidimensional,
yang pengertiannya tergantung kepada pandangan tertentu yang digunakan untuk
merumuskannya. Secara agak lebih komprehensif, konsep efektivitas itu
mengandung tiga komponen penting yang dalam kenyataannya saling berkaitan satu
sama lain. ketiga komponen itu adalah (1) tujuan atau sasaran organisasi, (2)
sistem yang merupakan perangkat keras organisasi, dan (3) tingkah laku yang
merupakan perangkat lunak organisasi.
Secara visual, hubungan antar ketiga
komponen yang membentuk dan mempengaruhi efektivitas organisasi itu dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
HUBUNGAN ANTAR KOMPONEN
EFEKTIVITAS ORGANISASI
Komponen
Tujuan
Komponen Sistematik Komponen
Tingkah Laku
B.
Berbagai Model Teori Organisasi
dan Pengukuran Efektivitas
Organisasi adalah unsur yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat modern, baik di sektor publik (negara)
maupun di sektor swasta. Hampir tidak mungkin untuk menjelaskan fenomena
perubahan sosial, politik, dan ekonomi, tanpa menyinggung atau menelaahnya dari
segi organisasi. Sebab secara sederhana organisasi tidak lain adalah satu
sistem hubungan koperatif di antara orang-orang untuk mencapai tujuannya
(Talcott Parsons, 1951: 72).
Meskipun organisasi itu merupakan konstruk yang bersifat abstrak dan dalam
berbagai literatur didefinisikan dengan bermacam cara, namun terdapat kesamaan
pengertian dari keseluruhan definisi tersebut sebagaimana dikemukakan Lubis
& Huseini (1987:1), yaitu bahwa organisasi adalah suatu kesatuan sosial
dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu
sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing,
memiliki tujuan tertentu dan batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan
secara tegas dari lingkungannya.
Dari segi Ilmu Administrasi dan
Kebijakan Publik, pakarnya dari Universitas Indonesia, Azhar Kasim (1989: 85)
mengemukakan bahwa organisasi merupakan unsur utama dalam administrasi negara
karena menyangkut kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan-tujuan publik
seperti pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran
dalam Ilmu Administarsi, muncul tiga pendekatan utama dalam analisis organisasi
(Lubis & Huseini, 1987: 2 – 6), yaitu (1) pendekatan klasik (Fredrick W. Taylor) yang menekankan analisis kepada
prosedur dan tata kerja organisasi untuk mencapai tujuan; (2) pendekatan neoklasik (Elton Mayo) yang menekankan
analisis kepada hubungan manusia (human
ralation) dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan; (3)
pendekatan modern (Joan Woodward) yang lebih menekankan analisis yang
komprehensif dengan memandang organisasi sebagai satu kesatuan sistem yang
bersifat terbuka dan memiliki saling ketergantungan (contingency) antar unsur-unsur dari dalam organisasi dengan
lingkungannya; karena itu pendekatan modern ini disebut juga sebagai pendekatan
kontingensi.
Pembahasan mengenai organisasi,
khususnya organisasi publik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan moderen, dengan asumsi bahwa organisasi publik itu merupakan satu
sistem terbuka, dengan unsur-unsurnya yang memiliki saling ketergantungan; dan
karena itu, memungkinkan adanya dinamika, adaptasi, perubahan, dan perkembangan
dalam organisasi itu sendiri dalam mencapai tujuan bersama.
Dalam
pendekatan moderen itu, salah satu konsep inti untuk menjelaskan tujuan
organisasi adalah efektivitas. Malahan Goodman dan Pennings (Azhar
Kasim, 1989: 8) berpendapat bahwa konstruk efektivitas merupakan unit analisis
yang sebagian besar digunakan oleh para peneliti untuk menelaah mengenai seluk
beluk organisasi.
Untuk
mempelajari secara cermat efektivitas suatu organisasi baik publik ataupun
swasta, seorang peneliti paling tidak memiliki suatu model teori organisasi
tertentu sebagai acuan. Azhar Kasim (1989: 4 – 85) mengajukan beberapa model
teori organisasi sebagai acuan untuk mengukur efektivitas yang akan dibahas
berikut ini.
a. Model Tujuan Rasional
Model ini menganggap bahwa
organisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan secara rasional. Untuk
mencapai tujuan itu diperlukan aturan-aturan, prosedur, dan birokrasi dengan
memperhatikan keahlian (expertise)
setiap orang untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai tata kerja, lingkup
wewenang, dan tanggung jawab baik fungsional maupun struktural. Dengan
penekanan dimensi rasionalitas dalam pencapaian tujuan, maka model ini
menekankan perumusan tujuan, penjabaran kegiatan, dan evaluasi sebagai komponen
organisasi yang strategis.
Dalam model rasional itu, tujuan
organisasi ditentukan oleh pemilik
organisasi, yaitu orang-orang yang mempunyai hak atau legitimasi terhadap
organisasi itu. Dalam sektor bisnis, yang menjadi pemilik organisasi tidak lain
adalah pemilik modal atau pemegang saham. Sedangkan dalam sektor publik,
misalnya birokrasi (organisasi) pemerintahan yang menjadi pemiliknya adalah
publik (masyarakat), yaitu warga negara yang mempunyai hak pilih dan dipilih.
b. Model Hubungan Manusia
Dalam model hubungan manusia,
keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, tidak dilihat pada tata kerja atau
birokrasi yang rasional melainkan kepada segi-segi yang melatari hubungan
manusia dalam organisasi itu, seperti kebutuhan, dorongan, keinginan, harapan,
kepuasan, serta aneka faktor sosial-psikologis yang menjadi kekuatan ataupun
kendala bagi terjalinnya hubungan manusia dalam mencapai tujuan organisasi.
Model hubungan manusia ini
melahirkan paradigma baru dalam upaya peningkatan mutu pelayanan organisasi,
yaitu pengembangan sumber daya manusia (SDM) baik yang bersifat melekat dalam
proses pengorganisasian dan manajemen sebagai fungsi pengaturan personil (staffing) maupun penataan dan
pengembangan staf yang berbentuk pelatihan (training).
Berbagai pakar organisasi yang
menaruh perhatian kepada fungsi pengembangan SDM (Armstrong, 1990: 2)
berpendapat bahwa organisasi amat ditentukan oleh sejauh mana intensitas dan
seberapa tepat arah pengembangan SDM yang berlangsung dalam organisasi itu.
Semakin tinggi intensitas dan semakin tepat arah pengembangan SDMnya, maka
semakin tinggi pula kinerja dan produk organisasi. Dalam organisasi publik,
arah pengembangan SDM ini berkaitan langsung dengan mutu pelayanan kepada
masyarakat sebagai standar keberhasilan organisasi.
c. Model Sistem Terbuka
Model sistem terbuka menganggap
bahwa suatu organisasi, swasta atau publik, tidak bisa bebas dari lingkungan.
Bahkan suatu organisasi dikatakan efektif apabila memiliki fleksibilitas,
adaptabilitas, dan kesiagaan yang tinggi menghadapi tekstur lingkungan yang terus
menerus berubah. Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi turut mengubah kebutuhan, pola dan gaya hidup, selera, harapan, dan aspirasi
masyarakat, yang pada gilirannya turut mempengaruhi dan mengubah tuntutan
terhadap mutu pelayanan dari suatu organisassi publik.
Salah satu varian teori yang
cukup terkenal dari model sistem terbuka ini adalah teori kontingensi. Teori
ini mendasarkan gagasannya pada asumsi bahwa semakin kompleks tugas
organisasi maka semakin beragam (complicated)
unit-unit organisasi yang bersangkutan, dan tiap unit organisasi berhubungan
dengan segmen lingkungan yang berbeda pula. Akibatnya, organisasi mau tidak mau
harus menghadapi masalah pengintegrasian beragam tugas yang dilakukan oleh unit
organisasi yang berbeda. kontingensi yang merupakan pengaruh unsur lingkungan
terhadap hasil usaha organisasi ini lebih jelas peranannya dalam suatu
organisasi publik. Menurut teori kontingensi, efektivitas organisasi tergantung
kepada kecocokan struktur organisasi dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan
dan kondisi lingkungannya.
Sebagai sistem terbuka, suatu
organisasi publik dengan sendirinya akan menghadapi problematik dalam hubungan
dengan struktur, penataan, dan manajemen kegiatan.
d. Model Proses Internal
Model proses internal menganggap
bahwa dalam suatu organisasi ada dua faktor determinan yang amat menentukan
pencapaian tujuan, yaitu informasi dan komunikasi. Oleh karena itu model proses
internal menempatkan pengelolaan informasi, komunikasi, partisipasi dalam
pengambilan keputusan dan perencanaan serta pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas merupakan kegiatan sentral dalam organisasi untuk mencapai tujuannya.
Semakin baik pengelolaan
informasi, mulai dari pengumpulan data, pengolahan data, pembaharuan data
(up-dating), penyimpanan, pengambilan, dan pemanfaatan data, serta
pengkomunikasiannya kepada fihak-fihak yang berkaitan dengan tugas baik internal maupun eksternal,
maka semakin efektif organisasi itu mencapai sasaran-saran yang ditentukan, baik
pada tingkat formal (kelembagaan) maupun operasional.
Secara umum komunikasi formal
dalam suatu organisasi terjadi dalam tiga pola, yaitu (1) komunikasi ke bawah (top down) yang bersifat menyampaikan
kebijakan, pengarahan, instruksi, pembinaan, evaluasi, dan sebagainya menurut
tingkat hirarkhi; (2) komunikasi ke atas (bottom
up) yang bersifat meminta petunjuk atau penjelasan, meminta keputusan,
menyampaikan laporan, capaian sasaran, rekomendasi, keinginan, keluhan, atau
aspirasi; (3) komunikasi ke samping (lateral),
yaitu hubungan dengan sejawat baik yang berhubungan dengan penyelesaian tugas,
pengembangan diri, maupun yang berkaitan dengan kebutuhan sebagai karyawan
organisasi.
e. Kaitan Keempat Model Teori secara
Integratif dengan The 7’ Frameworks sebagai Model Analisis
Keempat model teori organisasi
yang dikemukakan di atas, sebenarnya mempunyai kaitan konseptual dengan
asumsi-asumsi yang melatari konsep The 7’s Framework dari Peters & Waterman
(1982: 10) untuk menjelaskan keberhasilan, keunggulan dan efektivitas
organisasi. Model tujuan rasional dan model sistem terbuka yang menekankan
fokus eksternal organisasi, sebagaimana konsep Quinn & Rohrbaugh (Azhar
Kasim, 1989: 68) setara dengan konsep perangkat keras organisasi dari Pascale
& Arthos (1981: 46), yaitu sistem, strategi, dan struktur. Sedangkan model
proses internal dan model hubungan manusia yang menekankan fokus internal
organisasi setara dengan aspek-aspek perangkat lunak organisasi, yaitu gaya kepemimpinan,
kemampuan dan keterampilan SDM, serta nilai-nilai yang dimiliki.
C. Pendekatan-pendekatan dalam
Penilaian dan Pengukuran Efektivitas Organisasi
Ada beberapa
cara yang dikembangkan untuk mengukur efektivitas suatu organisasi. Pertama,
pengukuran berdasarkan model kerangka kerja yang digunakan. Menurut Steers
(1980: 5), umumnya kerangka kerja yang digunakan untuk meneliti efektivitas
terdiri atas dua model, yaitu (1) model pengukuran yang bersifat univariasi
(berdimensi satu), yang memusatkan perhatian dalam mengukur efektivitas hanya
kepada satu kriteria evaluasi, misalnya produktivitas; (2) model multivariasi,
yaitu mengukur efektivitas organisasi berdasarkan sejumlah kriteria penilaian.
Masing-masing model mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dalam model
univariasi, penelaahannya mendalam, meskipun kurang meluas; sebaliknya dalam
model multivariasi, penelaahannya mungkin tidak terlalu mendalam tetapi
cakupannya luas karena meliputi beberapa variabel.
Kedua, pengukuran berdasarkan
komponen-komponen dalam sistem organisasi. Dengan mengacu kepada sistem
organisasi Lubis & Huseini (1987: 56 – 71) mengelompokkan empat pendekatan
dalam
pengukuran efektivitas, yaitu (1)
pendekatan sasaran yang memusatkan
pengukuran kepada keluaran
(produk/jasa) organisasi; (2) pendekatan proses yang memusatkan pengukuran
kepada kegiatan dan proses internal organisasi; (3) pendekatan sumber yang
memusatkan pengukuran kepada sumber-sumber masukan organisasi; (4) pendekatan
gabungan, yaitu pengukuran efektivitas dengan menggabungkan ketiga jenis
pendekatan terdahulu secara bersamaan, mencakup pengukuran pada sisi masukan,
efisiensi proses transformasi, dan sisi keberhasilan mencapai sasaran.
Ketiga, setiap pendekatan itu
masing-masing mempunyai kelemahan dalam pengukuran efektivitas. Oleh karena
itu, beberapa pakar mengajukan pendekatan lain yang dianggap lebih komprehensif
untuk mengukur efektivitas, diantaranya pendekatan (1) konstituensi, (2) bidang
sasaran, (3) kontingensi.
BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGUKURAN
EFEKTIVITAS ORGANISASI
LINGKUNGAN
|
|
|
||||||
Pendekatan Pendekatan Proses Pendekatan
Sumber Sasaran
Sumber: Lubis & Huseini (1987: 56)
1.
Pendekatan Konstituensi
Pendekatan ini memusatkan
perhatiannya kepada konstituensi organisasi, yaitu berbagai kelompok di dalam
dan di luar organisasi yang mempunyai kepentingan terhadap kinerja organisasi,
seprti karyawan, pemegang saham, leveransir bahan dan peralatan, pemilik, dan
lingkungan. Dengan pendekatan ini, efektivitas organisasi diukur melalui
tingkat kepuasan masing-masing unsur konstituensi terhadap organisasi.
Kelebihan dari pendekatan konstituensi ini adalah kemampuannya untuk memperoleh
gambaran yang menyeluruh mengenai efektivitas organisasi melalui pandangannya
terhadap keseluruhan faktor baik yang terdapat di dalam maupun di luar
organisasi. Pendekatan ini menggunakan beberapa kriteria secara bersamaan,
yaitu masukan, proses internal, keluaran. Pendekatan ini berpangkal kepada
asumsi bahwa kepuasan unsur yang satu (misalnya, karyawan) sama pentingnya
dengan kepuasan unsur lainnya (misalnya, pemilik perusahaan).
Meskipun pendekatan konstituensi
pada tahap awal banyak digunakan dalam riset untuk mempelajari efektivitas
organisasi bisnis, namun dalam perkembangan terakhir, pendekatan ini semakin
banyak digunakan untuk mempelajari efektivitas organisasi publik. Tentu saja
kriteria kepuasan setaip unsur konstituensi dalam organisasi publik tidak sama
dengan ciri-ciri kepuasan dalam organisasi bisnis. Setidaknya ada lima asumsi normatif yang
perlu dijadikan pedoman dalam memahami efektivitas organisasi di sektor publik,
sebagaimana dikemukakan Azhar Kasim (1989: 20) sebagai berikut. Pertama,
organisasi (lembaga) publik tidak sepenuhnya otonom, tetapi dikuasai oleh
faktor-faktor eksterior. Kedua, organisasi publik secara resmi (menurut hukum)
diadakan untuk pelayanan masyarakat. Ketiga, organisasi publik tidak
dimaksudkan untuk berkembang, menjadi besar dengan merugikan organisasi publik
yang lain; kecuali setiap unit pelayanan dituntut semakin efisien dan
kompetitif. Keempat, kesehatan organisasi publik diukur melalui (a)
kontribusinya terhadap tujuan politik; dan (b) kemampuan mencapai hasil yang
maksimum dengan sumber daya tersedia secara lebih efisien. Kelima, kualitas
pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi pengaruh politik yang negatif
(merugikan).
2.
Pendekatan bidang sasaran (goal
domains)
Sesungguhnya, suatu organisasi
yang besar, apalagi organisaasi publik, pada dasarnya memiliki bidang sasaran
yang berlapis dan bertingkat. Kilmann & Herden (1976: 87) mencoba membuat
klasifikasi bidang sasaran itu menurut efisiensi dan efektivitas baik fokus
internal maupun eksternal. Dengan klasifiaksi itu, Kilmann dan Herden
menunjukkan empat bidang sasaran dalam suatu organisasai. Pertama, efisiensi
internal, menunjukkan keberhasilan organisasi dalam menggunakan berbagai macam
sumber yang dimilikinya. Bidang sasaran ini identik dengan pengukuran
efektivitas organisasi melalui pendekatan proses internal. Salah satu ukuran
yang digunakan adalah perbandingan nilai keluaran (output) terhadap masukan (input).
Efisiensi internal ini memusatkan perhatian kepada bagaimana melakukan
transformasi (manajemen) terhadap masukan yang minimum sehingga menghasilkan
keluaran yang maksimum. Kedua, efisiensi eksternal, yaitu kemampuan organisasi
untuk mendapatkan berbagai jenis sumber yang diperolehkan. Bidang sasaran ini identik dengan
pengukuran efektivitas melalui pendekatan sumber. Hubungan (kontingensi)
organisasi dengan unsur-unsur lingkungan merupakan kriteria dalam efisiensi
eksternal. Ketiga, efektivitas internal, mengacu kepada besarnya perolehan
pekerja yang bekerja dalam suatu organisasi, sehingga semakin mengefektifkan
tugas-tugas pada masing-masing-masing unit. Bidang sasaran ini lebih dianggap
identik dengan pengukuran efektivitas menurut pendekatan proses. Ukuran-ukuran
yang digunakan pada umumnya berhubungan dengan kepuasan dan motivasi kerja,
iklim, hubungan antarpribadi, dan sebagainya. Keempat, efektivitas eksternal,
menunjuk kepada kemampuan organisasi untuk memberikan kepuasan kepada setiap
unsur konstituensinya, sehingga bidang sasaran ini lebih identik dengan
pengukuran efektiviats melalui pendekatan konstituensi.
3.
Pendekatan kerangka
ketergantungan
Pendekatan sasaran dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang dianut dan menjadi preferensi pimpinan organisasi. Selain
itu karakteristik organisasi juga berpengaruh terhadap bidang sasaran yang
dipilih. Karena itu Huseini & Lubis (1987: 69), mengembangkan pendekatan
pengukuran efektivitas organisasi berdasarkan kejelasan proses transformasi dan
kejelasan keluaran (output).
Model kontingensi ini
menghasilkan empat bentuk pilihan dalam pengukuran efektivitas. Pertama,
apabila keluaran organisasi dan proses transformasi cukup jelas dan dapat
diukur, maka keberhasilan organisasi untuk mencapai sasarannya akan dapat
diukur dengan mudah dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Kriteria
efisiensinya adalah ongkos untuk mencapai sasaran. Kedua, jika keluaran
tidak jelas atau tidak dapat diukur, tetapi proses transformasi memiliki
indikator yang jelas, maka pengukuran dapat dilakukan dengan memusatkan
perhatian kepada kriteria proses internal, antara lain pada unsur iklim
organisasi, atau kepuasan karyawan. Ketiga, apabila keluaran jelas,
sementara proses transformasi tidak lengkap, maka pengukuran dapat dipusatkan
kepada kriteria output, yaitu keberhasilan mencapai sasaran. Keempat,
apabila keluaran tidak jelas dan juga proses transformasi tidak lengkap, maka
untuk mengukur efektivitas organisasi dapat dipakai kriteria sosial, yaitu pada
kepuasan unsur-unsur konstituensi.
D.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Efektiviats Organisasi Publik
Secara
teoritis, efektivitas suatu organisasi publik sangat ditentukan oleh sejumlah
faktor determinan. Richard M. Steers (1980: 11) mencoba mengidentifikasi empat
himpunan faktor yang berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Pertama,
himpunan karakteristik organisasi, yang terdiri atas faktor struktur, yaitu
desentralisasi, spesialisasi, formalisasi, rentang kendali, besarnya organisasi
dan unit kerja, serta faktor teknologi. Kedua, karakteristik lingkungan,
yang terdiri atas faktor ekstern, yaitu kekompleksan, kestabilan, dan
ketidaktentuan, serta faktor intern (iklim), yaitu orientasi pada karya,
pekerja-sentris, orientasi pada imbalan-hukuman, keamanan melawan resiko,
keterbukaan melawan pertahanan. Ketiga, karakteristik pekerja, yang
terdiri atas faktor keterikatan pada organisasi, yaitu ketertarikan, kemantapan
kerja, dan komitmen pada tugas, serta faktor prestasi kerja, yaitu motivasi,
tujuan dan kebutuhan, kemampuan, dan kejelasan peran. Keempat, karakteristik
kebijakan dan praktek manajemen, yang terdiri atas faktor-faktor penyusunan
tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan sumberdaya, penciptaan lingkungan
berorientasi pada prestasi, pengelolaan informasi dan proses-proses komunikasi,
kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta inovasi dan adaptasi organisasi.
Suatu studi
yang amat terkenal mengenai faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi
mencapai keunggulannya dikemukakan oleh Peters & Waterman (1982: 8) dalam
bukunya In Search of Excellence. Dengan mempelajari kurang lebih 75 perusahaan
Amerika Serikat yang berhasil, Peters & Waterman mengemukakan tujuh faktor
keberhasilan organisasi (disebut the
Seven S’s), yaitu (a) sistem, (b) strutur, (c) strategi, (d) staf (SDM),
(e) gaya kepemimpinan (style), (f) keterampilan (skills), (g) nilai-nilai yang
dimiliki (shared values).
a.
Faktor Sistem
Sistem merupakan salah satu konsep yang
penting untuk menjelaskan mengenai efisiensi dan efektivitas organisasi.
Johnson, Kast, & Rosenzweig (1963: 37) mengemukakan bahwa suatu sistem
adalah satu keseluruhan yang kompleks, terorganisasikan; suatu himpunan atau
kombinasi dari berbagai unsur atau yang membentuk satu keseluruhan yang
kompleks atau uniter. Sementara, Kershner (Kast & Rosenzweig, 1974: 88)
merumuskan bahwa sistem adalah suatu himpunan berbagai entitas atau hal-hal
yang menerima masukan tertentu, dan diselenggarakan sesuai persetujuan bersama
untuk menghasilkan keluaran tertentu, dengan tujuan memaksimalkan fungsi
masukan dan keluaran.
Dengan demikian, organisasi sebagai satu
sistem yang diharapkan dapat berfungsi secara efisien dan efektif harus
memiliki komponen dan unsur-unsur masukan dengan standar tertentu yang dapat
ditransformasikan untuk mendapatkan keluaran yang optimal, standar, dan
bermutu. Dari perspektif sistem, organisasi publik atau bisnis secara teoritis
dikelompokkan sebagai sistem terbuka. Menurut von Berthalanffy (Kast &
Rosenzweig, 1974: 89) sistem terbuka tidak lain adalah suatu kelompok elemen
yang saling berkaitan dan berhubungan dengan lingkungannya. Berdasarkan
ancangan ini, sistem dalam organisasi lebih ditekankan kepada persoalan
mengenai saling hubungan, struktur, saling ketergantungan antar unsur dan
transformasi untuk mencapai keluaran (Katz & Kahn, 1966: 32). Oleh karena
itu, sebagai sistem terbuka, suatu organisasi dapat diidentifikasi atas tiga
komponen utama, yaitu (1) masukan (yang berasal dari masyarakat), (2)
transformasi, dan (3) keluaran (untuk kepentingan masyarakat).
Dalam studinya, Katz and Kahn (1966: 37
– 43) mengidentifikasi sembilan karakteristik penting dari organisasi sebagai
sistem terbuka, sebagai berikut:
1.
Pemasukan enerji (masukan) dari
lingkungan.
2.
Pengubahan bentuk enerji
(transformasi melalui kegiatan kerja dalam organisasi.
3.
Pengeluaran enerji yang sudah
diubah bentuknya (keluaran) ke lingkungan luar/masyarakat.
4.
Terjadinya daur proses
transformasi, yaitu aktivitas pengolahan.
5.
Entropi negatif, yaitu organisasi
memasukkan enerji lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Berarti sistem
menggunakan enerji dalam proses transformasi dan menyimpan sebagiannya untuk
kebutuhannya kelak.
6.
Mekanisme pengendalian informasi.
Sistem menerima informasi dari lingkungan, menyimpan, memperbaharui, serta
mengelola dan menggunakan informasi itu sebagai tanggapan sistem terhadap
lingkungan.
7.
Tingkah laku yang mantap. Sistem
cenderung mempertahankan sifat dasar mereka dengan mengendalikan atau
menetralkan ancaman kekuatan yang datang dari luar, dengan keseimbangan dinamis
(dynamic equillibrium).
8. Diferensiasi peranan dan
spesialisasi fungsi. Dengan berkembangnya sistem, ada kecenderungan yang
semakin meningkat ke arah meluasnya peranan dan spesialisasi fungsi.
9. Keluwesan dan
adaptabilitas terhadap lingkungan. Sistem yang terbuka selalu mempunyai daya
keluwesan dan penyesuaian yang melekat untuk menghadapi perubahan dari
lingkungannya.
b.
Faktor Struktur
Dalam konteks organisasi, secara
sederhana struktur menyatakan cara organisasi mengatur sumber daya manusia bagi
kegiatan-kegiatan ke arah tujuan. Struktur merupakan cara yang selaras dalam
menempatkan manusia pada suatu hubungan yang relatif tetap, yang sangat
menentukan pola-pola interaksi, koordinasi, dan tingkah laku yang berorientasi
kepada tugas.
Richard M Steers (1980: 67 –75)
mengidentifikasi setidaknya ada enam faktor dari struktur yang dapat dikenali,
yang secara empiris ternyata mempengaruhi beberapa segi efektivitas organisasi,
yaitu tingkat desentralisasi/sentralisasi, spesialisasi fungsi, formalisasi,
rentang kendali, ukuran organisasi dan unit kerja. Berikut ini akan ditinjau sepintas masing-masing
faktor struktur tersebut.
1.
Desentralisasi/Sentralisasi
Yang dimaksud dengan desentralisasi
adalah batas perluasan berbagai jenis kekuasaan dan wewenang dari atas ke bawah
dalam hirarkhi organisasi. Dengan demikian, pengertian desentralisasi berhubungan
erat dengan konsep partisipasi dalam pengambilan keputusan. Makin luas
desentralisasi sebuah organisasi, makin luaslah lingkup para karyawan bawahan
turut serta dalam dan memikul tanggungjawab atas keputusan-keputusan mengenai
pekerjaan mereka dan kegiatan mendatang dari organisasinya.
Sentralisasi,
sebaliknya, menunjukkan tingkat keterpusatan dalam wewenang dan pengambilan
keputusan. Pada organisasi yang mempunyai tingkat sentralisasi yang tinggi,
sebaliknya tingkat desentralisasinya rendah, keputusan-keputusan umumnya dibuat
hanya pada puncak organisasi. Berbagai penelitian (Jerald Hage, 1967: 503-519)
menunjukkan organisasi yang besar tingkat sentralisasinya lebih rendah dari
pada organisasi kecil. Steers (1980: 72) melaporkan bahwa bertambahnya
desentralisasi dalam organisasi sering menghasilkan perbaikan pada beberapa
segi efektivitas. Khususnya, desentralisasi ternyata ada hubungannya dengan
meningkatnya efisiensi manajemen, komunikasi dan umpan balik terbuka, kepuasan
kerja, dan kebetahan kerja karyawan. Lagi pula, desentralisasi dalam beberapa
kasus ternyata menghasilkan perbaikan karya, peningkatan inovasi, dan
kreativitas dalam organisasi, yang berakibat kepada peningkatan efektivitas dan
produktivitas organisasi.
2.
Spesialisasi fungsi
Konsep spesialisasi fungsi timbul dari
gerakan manajemen ilmiah pada awal abad XX yang berpendapat bahwa faktor
penentu keberhasilan organisasi adalah kemampuan organisasi untuk membagi-bagi
fungsi kerjanya menjadi kegiatan yang lebih spesifik.
Spesialisasi fungsi dalam suatu
organisasi akan mengakibatkan peningkatan efektivitas, karena spesialisasi
memungkinkan setiap karyawan yang mempunyai keahlian tertentu dapat bekerja
secara lebih efisien untuk menangani pekerjaan di bidang yang dikuasainya,
sehingga dapat memberi sumbangan terhadap pencapaian sasaran organisasi secara
keseluruhan.
3.
Formalisasi
Formalisasi
secara konseptual menunjuk kepada tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam
suatu organisasi, yang menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi. Formalisasi
biasanya menunjukkan batas penentuan atau pengaturan kegiatan kerja karyawan
melalui prosedur dan peraturan yang resmi. Semakin besar pengaruh peraturan,
pengaturan, kewajiban kerja tertulis yang mengatur tingkah laku karyawan,
semakin besar tingkat formalisasinya. Sering dikemukakan argumentasi bahwa
peningkatan formalisasi menjadi penghalang terbesar bagi efektivitas, karena
para manajer dalam struktur yang sangat formal akan cenderung melakukan segala
sesuatu sesuai “juklak” dan “juknis”. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
formalisasi mempunyai korelasi yang positif dengan efektivitas organisasi,
apabila organisasi itu sudah mencapai tingkat kematangan, stabil, dan mapan.
Sebaliknya, formalisasi itu berkorelasi negatif bila organisasi itu masih kurang
matang dan tidak stabil. Dengan demikian unsur formalisasi memberikan
kontribusi yang efektif terhadap organisasi, tergantung kepada kondisi
organisasi itu sendiri.
4.
Rentang kendali
Secara konseptual, rentang kendali (span
of control) menyatakan jumlah rata-rata bawahan dari setiap divisi, bidang,
atau seksi. Semakin besar rentang kendali, kemungkinan semakin rendah
efektivitas organisasi. Pengaruh rentang kendali terhadap efektivitas
organisasi juga berkaitan dengan faktor teknologi. Meskipun jumlah rata-rata
karyawan dalam satu unit tugas banyak, tetapi jika pelaksanaan tugasnya
dilakukan secara mekanistik dengan bantuan teknologi tertentu, maka dengan
mudah memantau mutu hasil kerja. Di fihak lain, meski jumlah karyawan sedikit,
tetapi pekerjaan mereka dilakukan secara manual, maka agak sulit untuk
mengontrol mutu kerjanya. Di samping itu faktor keterampilan karyawan juga
turut menentukan kendali mutu dalam suatu organisasi. Secara teoretis nisbah
yang dianggap layak antara atasan dan bawahan yang memungkinkan rentang kendali
mempunyai pengaruh positif terhadap efektifitas berkisar antara 6:1 dan 15:1.
Namun besarnya rentang kendali ini juga tergantung kepada peran relatif aspek
teknologi organisasi.
5.
Besarnya organisasi dan unit
kerja
Bertambah besarnya organisasi dan unit
kerja, dalam berbagai kasus penelitian ternyata sangat berpengaruh dan
mempunyai hubungan positif dengan efektivitas organisasi. Besarnya organisasi
itu terlihat kepada rasio administratif, yaitu perbandingan jumlah anggota
kelompok pimpinan terhadap jumlah keseluruhan anggota organisasi.
Sehubungan dengan besarnya organisasi
ini, Parkinson (1964: 3) mempopulerkan penemuannya yang dikenal dengan nama
“Hukum Parkinson” (Parkinson Law), yaitu kecenderungan memperbesar anggota
kelompok pimpinan walaupun sebenarnya pekerjaan yang harus diselesaikan tidak
bertambah besar. Di sini Parkinson menunjukkan bahwa organisasi, terutama yang
berukuran besar, dengan jumlah pimpinan yang terlalu banyak, yang tidak sesuai
dengan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, ternyata umumnya merupakan
organisasi yang tidak efisien. Ini berarti bahwa bertambah besarnya organisasi
tidak selamanya berkorelasi positif dengan efektivitas organisasi.
Besarnya organisasi juga mencerminkan
tingkat kompleksitas penanganan tugas-tugas, hirarkhi, dan rentang kendali.
Kompleksibilitas itu dapat berpola vertikal, yaitu banyaknya tingkatan dalam
organisasi, dan kompleksitas horisontal, yaitu banyaknya bagian/seksi,
bidang-bidang tugas dalam organisasi. Kontribusi besarnya organisasi terhadap
efektivitas lebih dicerminkan oleh kemampuan manajemen untuk mengarahkan dan
mengendalikan kompleksitas kerja baik horisontal (melalui bidang-bidang),
maupun vertikal (melalui tingkatan penanganan/penyelesaian masalah).
c.
Faktor Strategi
Strategi merupakan salah satu “perangkat
keras” dalam organisasi yang dalam literatur barat dianggap sebagai kunci
keberhasilan organisasi dalam mencapai keunggulannya. Strategi organisasi tidak
lain adalah seperangkat rencana organisasi yang telah dipertimbangkan secara
cermat, berdasarkan berbagai analisis dan perkiraan, untuk mencapai
sasaran/tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Penetapan startegi oleh suatu organisasi
tergantung kepada sasaran yang ingin dicapai. Apabila sasaran bersifat jangka
panjang, maka strategi itu juga bersifat jangka panjang (Burhan, 1989: 22).
Strategi itu pada dasarnya merupakan rumusan kebijakan program organisasi untuk
mencapai sasaran secara lebih efektif.
Rencana kegiatan atau program dalam
suatu organisasi dianggap strategis apabila rencana itu dapat memperkecil
enerji masukan (seperti biaya, SDM, dan peralatan yang dibutuhkan), tetapi
sekaligus memperbesar keluaran, serta lebih produktif dalam mencapai sasaran.
Bowman (1990: 15) berpendapat bahwa esensi dari manajemen strategik terletak
kepada bagaimana suatu organisasi merumuskan langkah-langkah yang efisien dan
efektif untuk mewujudkan cita-cita organisasi yang secara programatis
dirumuskan dalam tujuan baik yang bersifat resmi (official goals) maupun
operatif (operative goals).
d.
Faktor Gaya Kepemimpinan
Sesungguhnya gaya kepemimpinan yang ditampilkan seorang
manajer, merupakan satu unsur keberhasilan dalam seni kepemimpinan ala Jepang. Gaya kepemimpinan tidak
lain adalah perilaku yang ditampilkan pemimpin dalam berhubungan dengan
anggota-anggotanya dalam konteks pelaksanaan tugas/kerja guna mencapai sasaran
organisasi.
Robert Blake dan James Mouton (1964: 9)
mengemukakan dua orientasi dalam gaya
kepemimpinan seorang manajer, yaitu orientasi pada tugas/produksi (task/production
orientation), dan orienatsi pada orang (people orientation).
1.
Orentasi pada tugas maupun
hubungan orang rendah. Pemimpin cenderung kurang memperhatikan hasil
kerja/tugas maupun terhadap anggota.
2.
Orienatsi pada tugas rendah dan orientasi pada orang tinggi. Gaya ini
mencerminkan perilaku pemimpin yang hanya memikirkan anak buahnya, tetapi
kurang memperhatikan hasil yang dicapai. Gaya seperti ini sering disebut sebagai “Kepemimpinan klub kampung” (The
country club management).
3. Orientasi pada tugas dan pada orang
sama-sama sangat tinggi. Gaya ini mencerminkan perilaku pemimpin yang mempunyai
tanggungjawab besar terhadap hasil yang ingin dicapai, sekaligus mengusahakan
hubungan dengan karyawan secara efektif. gaya ini disebut sebagai kepemimpinan
tim yang nyata (The real team management).
4. Orientasi pada tugas tinggi,
sementara perhatian kepada anggota (karyawan) kurang. Gaya ini mencerminkan
“kepemimpinan tugas otokratis” (The autocratic task management).
5.
Orienatsi pada tugas cukup, demikian juga orienatsi pada orang (karyawan).
Pada gaya ini kepemimpinan cenderung mempertahankan situasi “sedang-sedang
(mediocre). Perhatian kepada tugas seadanya demikian
juga perhatian kepada karyawan.
Gaya kepemimpinan yang dianggap berhasil dan memberikan sumbangan yang efektif
terhadap organisasi adalah kepemimpinan situasional. Model gaya kepemimpinan ini diintrodusir oleh
Hersey & Blanchard (1982: 20). Menurut mereka, terdapat tiga dimensi dari
kepemimpinan situasional yang efektif, yaitu:
1.
Kadar bimbingan dan arahan (perilaku
tugas) yang diberikan pemimpin.
2.
Kadar dukungan sosio-emosional
(perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin.
3. Tingkat kesiapan (kematangan) yang
diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas.
Gaya
kepemimpinan situasional berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif sangat
tergantung kepada tingkat kematangan pengikut. Dengan demikian situasi
kematangan turut menentukan gaya kepemimpinan bagaimana seharusnya yang cocok
untuk dilaksanakan. Berdasarkan tingkatan kematangan pengikut (anggota), dari
yang rendah hingga yang tinggi, maka terdapat beberapa tipe gaya kepemimpinan
yang sesuai.
e.
Faktor Staf (SDM) dan
Keterampilan
Konsep pengembangan sumber daya manusia
(SDM) atau yang lazim disebut sebagai human resource management (HRD), sejak
dasawarsa 80 – an mulai tampil sebagai kekuatan baru dalam ilmu manajemen
modern, baik sektor organisasi publik maupun bisnis. SDM tidak lagi dilihat
sebagai enerji yang dapat dikelola dan dikendalikan untuk mentransformasikan
modal guna meraih keuntungan (profit) organisasi atau perusahaan, melainkan
dalam pandangan modern lebih dipahami sebagai sumber kekuatan yang mampu
mentransaktualisasikan dirinya dengan tujuan-tujuan organisasi, sehingga mampu
menghasilkan mutu layanan dan produk organisasi yang kompetitif.
Sebagai faktor kunci yang menentukan
efektivitas organisasi, James L. Walker (1980: 30) mengemuukakan paling kurang
tiga kriteria penting dalam manajemen pengembangan SDM dalam organisasi.
Pertama, kualifikasi, yaitu terpenuhinya persyaratan SDM yang diperlukan secara
kualitatif untuk menjalankan tugas-tugas organisasional secara struktural
maupun fungsional. Kualifikasi itu meliputi jenis dan tingkat pendidikan yang
dibutuhkan, pengalaman kerja, kesehatan fisik, dan integritas pribadi. Kedua,
proporsi, yaitu terpenuhinya kebutuhan SDM secara kuantitatif untuk menjalankan
tugas-tugas organisasional. Proporsi itu berkaitan erat dengan luas dan volume
pekerjaan yang harus ditangani dengan atau tanpa dukungan teknologi, serta
perkiraan peningkatan bidang usaha dikemudian hari. Ketiga, promosi, yaitu
upaya peningkatan kemampuan SDM baik secara struktural maupun fungsional,
melalui sistem pendidikan dan pelatihan yang terkait kepada sistem pengembangan
karir karyawan. Artinya promosi karyawan dalam tugas-tugas struktural maupun
fungsional harus didasarkan kepada pengalaman, pengabdian, tingkat pendidikan
maupun jenis-jenis diklat yang diikuti.
Walker (1980: 27) berpendapat bahwa
untuk menilai kontribusi faktor SDM terhadap efektivitas organisasi, maka
paling sedikit kriteria ukuran harus meliputi ketiga unsur yang dikemukakan di
atas, yaitu kualifikasi, proporsi, dan promosi/mutasi peronil dalam tugas-tugas
organisasional.
f.
Faktor Pemilikan Nilai
Sistem nilai organisasi yang menjadi
acuan perilaku karyawan, dalam penelitian Pascale & Athos (1981), ternyata
merupakan faktor penentu dalam keberhasilan manajemen organisasi gaya Jepang. Sistem nilai
inilah yang menjadi sumber penggerak dan pembentuk kultur perusahaan (corporate
culture) yang kuat sebagai acuan perilaku organisasi.
Sistem nilai itu dapat dikatakan sebagai
tujuan-tujuan superordinate (superordinate
goals) dari suatu organisasi yang bersifat sangat abstrak. Sistem nilai
organisasi itu mengacu kepada apa yang diangap oleh orang-orang dalam
organisasi sebagai bermakna dalam hidupnya dan seharusnya menjadi tujuan hidup
organisasi, kemudian membentuk keyakinan diri untuk bagaimana dirinya dalam
organisasi berperilaku mewujudkan tatanilai itu dalam hidupnya.
Oleh karena itu, menurut Armstrong
(1990: 36), untuk mencapai kultur perusahaan/organisasi yang kuat, maka kondisi
yang diperlukan ialah adanya pemilikan bersama tata nilai organisasi (shared values), yaitu nilai-nilai yang
diyakini bermakna, yang pada gilirannya sistem nilai yang dimiliki menjadi
semacam norma perilaku individual dalam organisasi. Pemilikan bersama tata
nilai organisasi yang merupakan superordinate goals itu tergantung kepada (1)
komitmen karyawan pada nilai dan tata nilai yang lebih tinggi yang mengatur
perilaku organisasi, dan (2) orientasi secara seimbang kepada nilai-nilai
sosietal, organisasional, dan personal. Efektivitas organisasi sangat
ditentukan oleh bagaimana individu (selaku karyawan) menampilkan perilaku peran
yang dituntun oleh norma-norma organisasional, seperti dalam kegiatan proses
produksi dan pelayanan.
Sistem nilai yang diikuti suatu
organisasi membentuk suatu kultur yang mengikat keseluruhan peran yang
ditampilkan oleh organisasi itu. Pascale & Arthos (1981: 98) dalam
penelitian intensif mengenai organisasi dan manajemen di Jepang menemukan bahwa
keberhasilan bangsa ini mengungguli Eropah dan Amerika dalam industri dan
perdagangan, karena mereka memiliki sistem nilai organisasi yang amat kuat dan
jarang ditemukan pada bangsa lain. dengan kata lain pemilikan sistem nilai
organisasi tertentu sangat mempengaruhi efektivitas organisasi itu dalam meraih
keunggulannya.
III.
PENUTUP
Efektivitas Organisasi merupakan konsep
yang kompleks dan mengandung pengertian yang bersifat multi dimensional. Secara
teoritis, organisasi publik yang tergolong sistem terbuka, efektivitasnya
dipengaruhi sekian banyak faktor. Faktor-faktor itu dapat berasal dari dalam
organisasi disebut faktor internal, dapat juga berasal dari luar organisasi
disebut faktor eksternal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan organisasi yaitu: sistem, struktur, strategi, staf (SDM), gaya kepemimpinan,
keterampilan, dan nilai-nilai yang dimiliki. Ketujuh faktor efektivitas
organisasi itu saling berhubungan interaktif satu dengan yang lain. hal ini
mengisyaratkan bahwa keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung
kepada sistem dan tata nilai yang dimiliki, yang membentuk corporate culture
dari organisasi itu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Armstrong, Michael. 1990. Manajemen Sumber Daya manusia (Alih
bahasa Ali Sofjan dan Haryanto). Jakarta: Elex Media Komputindo.
2.
Azhar Kasim. 1989. Pengukuran Efektivitas dalam Organisasi. Jakarta: PAU Ilmu-ilmu Sosial UI.
3.
Bowman, C. 1990. The Essence
of Strategic Management. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
Hall.
4.
Burhan, N. 1989. Perencanaan
Strategik. Jakarta,
Pustaka Binaman Pressindo.
5.
Etzioni, Amitai. 1964. Modern
Organizations. New Jersey:
Prentice Hall.
6.
Kast, F.E & Rosenzweig, J.E. 1974. Organization and Management: A System
Approach. New York:
Mc Graw Hill Book Company.
7.
Katz, D & Kahn, R.L. 1966. The
Social Psychology of Organization. New
York: John Wiley & Sons.
8.
Lubis, Hari S.B & Huseini, Martani. 1987. Teori Organisasi (Suatu
Pendekatan Makro). Jakarta: PAU
Ilmu-ilmu Sosial UI.
9.
Parkinson, C. Northcote. 1984. Parkinson’s
Law. New York:
Ballantine Books.
10.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System.
New York: The
Free Press.
11.
Pascale, Richard & Arthos, A.
1981. The Art of Japanese management. Boston: Simon & Schuster.
12.
Perrow, Charles. 1979. Complex
Organizations: A Critical Essay. 2nd ed. Glenview,
1l. : Scott, Foresman & Comp.
13.
Peters, Thomas J. Waterman,
Robert H. 1982. In Search of Excellence: Lesson from America’s Best
Run Companies. New York
: Harper & Row, Pub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar